Sabtu, 29 April 2017 0 komentar

Mengingati Tuhan




Diatas segala payah ada yang jera
mengais pengharapan dalam tiap hembusan bait do`a.
Hadirkah Engkau disana?
Menyaksikan segala tumpah air mata.

Pada yang menyanjungi bahagia pun ada yang lena
berkira mati tiada kan menyapa.
Hadirkah Engkau padanya?
Merasai durhaka dan syukur yang kerap alpa.

Adalah keniscayaan.
Bagaimana bisa kami berlepas diri dari yang menciptakan
Merangkai irama detak jantung kami
Menghembuskan nafas nafas kami
Menghidupkan kami
Mematikan kami.

Dalam kelukaan yang dalam kami beringsut pelan ke hadapanNya
Mengakhirkan kesedihan, mengkhatamkan kesakitan.
Sebab hanya pada Tuhan segala air mata kita berpulang.
Hanya pada Tuhan pengharapan beranak tangga menjadi kuasa.
Jua kepada Tuhanlah tawa bahagia kita menari
Di tiap kesyukuran, di tiap pencapaian.
Tiada Ia pernah meninggalkan
Sedetik saja, kita menjelma jadi debu
Sedetik saja, kita mati dalam perih
Tanpa mengingatiNya.




Minggu, 16 April 2017 0 komentar

Berkaca Pada Sejarah





Kala cahaya Islam mulai memendar di bumi Mekah Al Mukarromah, tiada yang pernah mengira jika akhirnya cahaya itu bisa menyelimuti dua per tiga belahan dunia.Hari yang menyejarah dimulai ketika itu. Saat matahari merangkak naik, membiaskan sinar diantara bongkah-bongkah batu bukit tempat Siti Hajar pernah memasrahkan diri di hadapan Tuhannya. Kini sejarah mengenai ketundukan seorang hamba akan terulang, namun dengan jalan cerita yang sudah pasti berbeda.

        Pagi itu Shafa membisu. Hembusan angin perlahan membisikkan kehadiran sosok yang akhlaknya paling terpuji di seantero kota Mekah. Atas perintah TuhanNya ia bergerak.

        “Dan berilah peringatan kepada keluargamu yang terdekat.“



        Perlahan Rasulullah menaiki bukit itu. Menapakkan kakinya tanpa ragu, sekalipun baginda tahu kaum Quraisy tidak akan mudah menerima apapun yang akan beliau katakan di atas bukit sana.

        “Wahai Bani Fihr, Bani Ady, keluarga keturunan Quraisy…”Seru baginda dengan lantang. Maka berkumpulah semua orang, bahkan jika ada yang tidak bisa hadir, mereka mengirimkan perwakilan untuk mendengarkan apa yang akan Rasulullah katakan. Abu Lahab turut hadir disana kala itu.

          “Bagaimana jika ku katakan kepadamu, bahwa di balik bukit sana ada pasukan berkuda yang akan menyerangmu. Apakah kamu semua akan mempercayainya?“



          “Ya, kami percaya.“ Jawab mereka serentak. Sebab belum pernah mereka temui seseorang yang lebih jujur perkatannya dari baginda.



          “Sesungguhnya aku adalah pembawa peringatan dari sisi Allah sebelum datangnya azab yang besar….“ Sambung Rasulullah.



        Setelah mendengar ucapan Rasulullah SAW, Abu Lahab langsung  berteriak ke arah baginda. Ia sangat marah dan tidak suka dengan perkataan beliau.

        “Binasalah engkau hari ini, apakah untuk alasan ini kau mengumpulkan kami semua disini?“ ucapnya pongah.

        Sungguh betapapun pahit perkataan dari Abu Lahab, Rasulullah tak gentar. Allah SWT langsung menurunkan firmanNya ketika itu.

“Binasalah kedua tangan Abu Lahab, dan benar-benar binasalah ia.“

(Q.S Al Lahab : 1).


***


        Jika saja ketika itu Rasulullah SAW tidak memulai tahap dakwah yang kedua yaitu dakwah secara terang-terangan dan mensyi`arkan Islam secara terbuka, tak akan pernah tersentuh hati-hati yang awalnya diselimuti kekafiran hingga akhirnya berjalan menuju hidayah.

        Andai Rasulullah SAW menyimpan manisnya iman dan islam itu hanya untuk beliau dan terus merahasiakannya tanpa berani menyeru kepada keluarga dan masyarakat, mungkin tak akan pernah kita temukan sejarah-sejarah heroik penaklukan yang menghadiahkan kejayaan untuk agama Islam yang mulia. Namun kita tahu, Rasulullah SAW tak mungkin sealpa itu. Baginda sangat berbeda dengan kita. Jauh berbeda.

        Yang telah kitabaca dan resapi tadi adalah sepenggal sejarah awal mula Rasulullah SAW menyerukan Islam secara terbuka. Meski setelah itu baginda dan kaum muslimin dihadang dengan berbagai macam derita dan penyiksaan dari kaum kafir Qurays.


        Serasa bagai disayat sembilu saat Fatimah binti Muhammad berlari-lari menuju ka`bah, kemudian dengan bercucuran air mata ia membersihkan isi perut unta yang telah memenuhi punggung serta leher ayahandanya yang tengah bersujud dihadapan RabbNya.  Juga Bilal bin Rabbah yang kisahnya begitu abadi. Mungkin kelak padang pasir itu akan bersaksi betapa dahsyatnya siksaan yang dilakukan Abu Jahal pada Bilal. Bilal yang kulitnya melepuh dibawah tindihan batu raksasa namun masih teguh berkata, “Ahad.. ahad.. ahad.” Pun pada Yassir, Sumayyah beserta Ammar bin Yassir r.a siksaan Abu Jahal tak kalah pedihnya. Lalu disusul dengan piagam perjanjian dari kaum musyrikin yang disepakati di halaman Bani Kinanah tepat berada di lembah Al Makhsab, dimana perjanjian ini sangat menyiksa kaum muslimin bertahun-tahun lamanya.


        Namun ada hikmah yang begitu dahsyat dibalik segala cobaan yang bertubi-tubi mendera kaum muslimin. Tahapan dakwah secara terbuka ini juga menjadi titik tolak meluasnya gema ajaran Islam di bumi Mekah. Aroma hadirnya semakin semerbak di sudut-sudut pasar, mengisi perbincangan penduduk seisi kota.

        Dari sejarah nan pahit ini para penerus misi risalah di masa depanpun bisa belajar, bahwa tidak ada jaminan kebahagiaan terlebih lagi keberlimpahan harta bagi para penyeru kebenaran. Tidak ada. Sahabat karib mereka adalah totalitas, pengorbanan dan luka demi mengatakan yang haq.


        Kita pasti akan tertunduk malu hari ini jika membandingkan betapa beratnya cobaan yang dihadapi kaum muslimin saat itu untuk sekedar menyatakan keimanan dan mensyi`arkan ajaran Islam di tengah masyarakat. Sementara kita saat ini terkadang masih enggan untuk mempersembahkan sikap totalitas dalam hal syi`ar Islam. Dalam hal membumikan kalam-kalam langit. Kita masih sering lupa untuk memikirkan serta menerapkan strategi terbaik agar seluruh civitas akademika bisa mendengarnya terlebih menerima inti kebenarannya.


“Maka sebarkanlah  apa yang telah diperintahkan kepadamu dan berpalinglah  dari kaum musyrikin “

(Q.S Al-Hijr: 94)       

          Sebarkanlah. Jelas sekali kata itu terpatri dalam Al Qur`anul kariim. Betapapun berat dan resiko yang dihadapi dipastikan tidak kecil, seperti apa yang telah digoreskan sejarah, sosok  sekaliber Rasulullah SAW saja mengalami berbagai kepahitan pasca keberanianya mendakwahkan Islam secara terbuka. Lantas apakah banyaknya kesulitan itu berhasil memukul mundur baginda? Tentu tidak.

Tugasseorang muslim adalah menyebarkan nilai-nilai Islam itu dimanapun berada. Dimana saja. Bukan hanya di area aman apalagi zona nyaman, masjid kampus misalnya. Tempat paling kondusif untuk para aktivis dakwah bertemu dan saling menebar salam. Berjabat tangan, berpelukan dan saling berangkul mesra. Bukan pula hanya di majelis-majelis. Taman surga dunia yang dikellingi para malaikat Allah yang mulia. Bisa dipastikan yang hadir disana adalah mereka yang sadar akan pentingnya ilmu agama.

          Lalu bagaimana dengan orang-orang di luar sana? Yang masjid terasa begitu jauh darinya. Yang majelis ilmu menjadi sangat asing untuknya. Mereka yang tidak suka dengan kesan didakwahi, digurui dan diatur dengan pesan ini dan itu. Bukankah mereka juga berhak merasakan manisnya kebaikan? Bahkan Abu Lahab yang sangat membenci dakwah Rasulullah SAW pun tak luput dari seruan baginda di bukit Shafa.

          Ada seni menakjubkan yang akan menjawab tantangan demi tantangan itu. Untuk mereka yang begitu rindu pada cahaya, namun silau memandang nyala purnama. Kita `kan bawakan sinar-sinar hangat rembulan untuk menerangi malamnya. Dengan seni, dengan penyesuaian pada masing-masing objek dakwah yang kita temui.

          Agar tombak dakwah kampus ini menjadi tepat sasaran, menyentuh seluruh kalangan dan bisa diterima. Ini bukan perkara yang mudah. Maka mari berkaca pada sejarah. Satu kata kunci utama yang mengantarkan dakwah ini menyebar ke seantero dunia : Syi`ar.
0 komentar

Bertebaranlah, Wahai para pejuang dakwah.

Di kaki langit peradaban
kita memandang ribuan muka, ribuan rupa.
Kadangkala kita lupa
betapapun muram durjanya beberapa wajah
yang kita jumpai di persimpangan, di kolam renang, di perpustakaan,
di toko serba ada, di stadion sepak bola,
hingga di sudut-sudut  taman saat malam menggenapkan gulita.
Mereka masih berhak diberi cahaya.
Dihadiahi senyum santun dan wajah yang ceria.

Sebab dakwah bukan hanya untuk kaum terbina
yang hening dalam dzikir dan tilawah
yang wajahnya selalu sejuk kala berjumpa.

Dakwah ini harus hadir dimana saja.
Pada siapa saja.
Kamis, 13 April 2017 0 komentar

Nulis? Siapa Takut!

Bismillahirrahmanirrahiim.

Dari pengamatan kecil-kecilan -dengan objek beberapa muslimah yang saya kenal- ada beberapa alasan yang buat sebagian orang mengurungkan niatnya untuk menulis dan nge-share hasil pemikiran mereka ke berbagai media. Yang pertama takut menimbulkan ria, ujub dan penyakit hati lainnya, dua belum bisa mengamalkan, tiga khawatir mengundang simpati lawan jenis mereka. Masya Allah, betapa istimewanya orang-orang beriman yang tiap langkahnya begitu hati-hati dan waspada.
Tapi... apa jadinya ya kalau aja dahulu para penulis hebat kaya Mbak Helvy Tiana Rosa, Asma Nadia, Oki Setiana Dewi dll juga mengurungkan niat menulisnya karena berfikir demikian? Hmm bisa dipastikan karya fenomenal sekelas "Ketika Mas Gagah Pergi", " Assalamu'alaikum Beijing", "Melukis Pelangi" dan buanyak lagi yang lainnya ga akan pernah ada
Padahal ada berjuta insan di luar sana yang mendapat secercah hidayah lewat karya-karya tersebut.
Menulis adalah bekerja untuk keabadian, kata Pramoedya Ananta Toer. Keabadian? Ya. Sebab saat seorang penulis telah wafat, namun karyanya yang baik dan bermanfaat masih dibaca khalayak, maka pahala jariyah mengalir deras dari sana.
Rasulullah SAW bersabda: "Kalimat yang baik adalah sedekah" (H.R Bukhari dan Muslim).
Bahkan lebih jauh lagi, tingkat peradaban suatu bangsa dapat diukur dengan berapa banyak orang yang membaca dan menulis di negeri tersebut (Helvy Tiana Rosa). Allah SWT juga mengabadikan keagungan tulisan dan ilmu pengetahuan di dalam Al Qur'an.
"Nun. Demi pena dan apa yang mereka tuliskan." (Q.S Al Qalam: 1).
Tidakkah kita merasa iri dengan orang-orang yang produktif menulis, sahabat?
Ketika kita belum bisa banyak bersedekah dengan harta, ternyata tulisan yang baik bisa menjadi pilihan alternatifnya. Dengan menulis kita juga turut berperan memajukan peradaban bangsa.
Kita tidak pernah tahu, siapa saja yang mungkin tercerahkan dengan karya sederhana kita. Itu juga dakwah, bukan?
Untuk berbagai kekhawatiran yang saya sebutkan di awal, mengapa kita tidak memilih berhusnuzhan pada semesta? Berprasangka bahwa semuanya akan baik-baik saja. Ria, ujub dan penyakit hati lainnya bukankah kita yang mengendalikan. Ia adalah buah dari kondisi keimanan. Maka penulis yang baik akan menulis dengan iman dan rasa rendah hati dihadapan RabbNya. Luruskan niat, lillahi ta'ala. Masalah belum bisa mengamalkan? Setiap kita sedang dalam proses belajar. Sedikit yang kita tahu, maka sampaikanlah. Sampaikan walau hanya satu ayat
Khawatir mengundang simpati lawan jenis apalagi si do'i? Hmm itu sih urusan dia sama Allah. Innamal a'malu binniyat, kan? Niat kita nulis adalah untuk mencari ridha Allah SWT bukan mencari perhatian si dia.
Warnai sosial media dengan karya sederhanamu, sahabat. Tulisan, quotes dalam desain, apapun yang baik dan bisa menjadi inspirasi untuk umat. Syiarkan Diin yang kita cintai ini dengan sekreatif mungkin.
Karena selama masih ada yang menulis, maka masih ada yang membaca, selama masih ada yang membaca, maka masih ada yang belajar. Selama masih ada yang belajar maka masih ada harapan untuk bangsa kita di masa depan. Itulah proses edukasi, pendidikan, tarbiyah yang dikemas dengan apik agar tetap bisa diterima seiring zaman yang berkembang dinamis. Syi'ar!
Terkhusus untuk sahabat seperjuangan yang saya cintai karenaNya, ada pesan dari Rio Hafandi dalam buku Dakwah Kreatip Ala LDK halaman 209, "Aktivis dakwah harusnya produktif dalam menulis."
Semoga Allah membimbing lisan dan tulisan kita agar senantiasa bermanfaat dan mencerahkan.
Sahabat muslimah, insya Allah tulisan kita tak akan menjadi pintu fitnah jika kita mengiringi produktifitas dengan terus memohon perlindungan dariNya.
Ingatlah bahwa muslimah itu harus berani, bijaksana dan produktif. Tak ragu berpendapat namun anggun terjaga. Kelak anak-anakmu akan bangga karena ibunya adalah penulis yang cerdas bersuara.
Jangan takut, menulislah! 😊
Langkat, Januari 2017. Ditengah dinamika kabar kenaikan harga cabai, bbm, pajak dan pencabutan subsidi listrik 900 VA. Kita masih punya harapan.
 
;