Kala cahaya Islam mulai memendar di bumi
Mekah Al Mukarromah, tiada yang pernah mengira jika akhirnya cahaya itu bisa
menyelimuti dua per tiga belahan dunia.Hari yang menyejarah dimulai ketika itu.
Saat matahari merangkak naik, membiaskan sinar diantara bongkah-bongkah batu
bukit tempat Siti Hajar pernah memasrahkan diri di hadapan Tuhannya. Kini
sejarah mengenai ketundukan seorang hamba akan terulang, namun dengan jalan
cerita yang sudah pasti berbeda.
Pagi itu Shafa membisu. Hembusan angin
perlahan membisikkan kehadiran sosok yang akhlaknya paling terpuji di seantero
kota Mekah. Atas perintah TuhanNya ia bergerak.
“Dan
berilah peringatan kepada keluargamu yang terdekat.“
Perlahan
Rasulullah menaiki bukit itu. Menapakkan kakinya tanpa ragu, sekalipun baginda
tahu kaum Quraisy tidak akan mudah menerima apapun yang akan beliau katakan di
atas bukit sana.
“Wahai
Bani Fihr, Bani Ady, keluarga keturunan Quraisy…”Seru baginda dengan lantang.
Maka berkumpulah semua orang, bahkan jika ada yang tidak bisa hadir, mereka
mengirimkan perwakilan untuk mendengarkan apa yang akan Rasulullah katakan. Abu
Lahab turut hadir disana kala itu.
“Bagaimana
jika ku katakan kepadamu, bahwa di balik bukit sana ada pasukan berkuda yang
akan menyerangmu. Apakah kamu semua akan mempercayainya?“
“Ya,
kami percaya.“ Jawab mereka serentak. Sebab belum pernah mereka temui seseorang
yang lebih jujur perkatannya dari baginda.
“Sesungguhnya
aku adalah pembawa peringatan dari sisi Allah sebelum datangnya azab yang
besar….“ Sambung Rasulullah.
Setelah
mendengar ucapan Rasulullah SAW, Abu Lahab langsung berteriak ke arah baginda. Ia sangat marah
dan tidak suka dengan perkataan beliau.
“Binasalah
engkau hari ini, apakah untuk alasan ini kau mengumpulkan kami semua disini?“
ucapnya pongah.
Sungguh
betapapun pahit perkataan dari Abu Lahab, Rasulullah tak gentar. Allah SWT
langsung menurunkan firmanNya ketika itu.
“Binasalah kedua tangan Abu Lahab, dan benar-benar
binasalah ia.“
(Q.S Al Lahab : 1).
***
Jika
saja ketika itu Rasulullah SAW tidak memulai tahap dakwah yang kedua yaitu
dakwah secara terang-terangan dan mensyi`arkan Islam secara terbuka, tak akan
pernah tersentuh hati-hati yang awalnya diselimuti kekafiran hingga akhirnya
berjalan menuju hidayah.
Andai
Rasulullah SAW menyimpan manisnya iman dan islam itu hanya untuk beliau dan
terus merahasiakannya tanpa berani menyeru kepada keluarga dan masyarakat,
mungkin tak akan pernah kita temukan sejarah-sejarah heroik penaklukan yang
menghadiahkan kejayaan untuk agama Islam yang mulia. Namun kita tahu,
Rasulullah SAW tak mungkin sealpa itu. Baginda sangat berbeda dengan kita. Jauh
berbeda.
Yang telah kitabaca dan resapi tadi adalah sepenggal sejarah awal
mula Rasulullah SAW menyerukan Islam secara terbuka. Meski setelah itu baginda
dan kaum muslimin dihadang dengan berbagai macam derita dan penyiksaan dari
kaum kafir Qurays.
Serasa bagai disayat sembilu saat Fatimah binti Muhammad
berlari-lari menuju ka`bah, kemudian dengan bercucuran air mata ia membersihkan
isi perut unta yang telah memenuhi punggung serta leher ayahandanya yang tengah
bersujud dihadapan RabbNya. Juga Bilal
bin Rabbah yang kisahnya begitu abadi. Mungkin kelak padang pasir itu akan
bersaksi betapa dahsyatnya siksaan yang dilakukan Abu Jahal pada Bilal. Bilal
yang kulitnya melepuh dibawah tindihan batu raksasa namun masih teguh berkata,
“Ahad.. ahad.. ahad.” Pun pada Yassir, Sumayyah beserta Ammar bin Yassir r.a
siksaan Abu Jahal tak kalah pedihnya. Lalu disusul dengan piagam perjanjian
dari kaum musyrikin yang disepakati di halaman Bani Kinanah tepat berada di lembah
Al Makhsab, dimana perjanjian ini sangat menyiksa kaum muslimin bertahun-tahun
lamanya.
Namun ada hikmah yang begitu dahsyat dibalik segala cobaan
yang bertubi-tubi mendera kaum muslimin. Tahapan dakwah secara terbuka ini juga
menjadi titik tolak meluasnya gema ajaran Islam di bumi Mekah. Aroma hadirnya
semakin semerbak di sudut-sudut pasar, mengisi perbincangan penduduk seisi
kota.
Dari sejarah nan pahit ini para penerus misi risalah di masa
depanpun bisa belajar, bahwa tidak ada jaminan kebahagiaan terlebih lagi
keberlimpahan harta bagi para penyeru kebenaran. Tidak ada. Sahabat karib
mereka adalah totalitas, pengorbanan dan luka demi mengatakan yang haq.
Kita pasti akan tertunduk malu hari ini jika membandingkan
betapa beratnya cobaan yang dihadapi kaum muslimin saat itu untuk sekedar
menyatakan keimanan dan mensyi`arkan ajaran Islam di tengah masyarakat. Sementara
kita saat ini terkadang masih enggan untuk mempersembahkan sikap totalitas
dalam hal syi`ar Islam. Dalam hal membumikan kalam-kalam langit. Kita masih
sering lupa untuk memikirkan serta menerapkan strategi terbaik agar seluruh
civitas akademika bisa mendengarnya terlebih menerima inti kebenarannya.
“Maka sebarkanlah
apa yang telah diperintahkan kepadamu dan berpalinglah dari kaum musyrikin “
(Q.S Al-Hijr: 94)
Sebarkanlah. Jelas sekali kata itu
terpatri dalam Al Qur`anul kariim. Betapapun
berat dan resiko yang dihadapi dipastikan tidak kecil, seperti apa yang telah
digoreskan sejarah, sosok sekaliber Rasulullah
SAW saja mengalami berbagai kepahitan pasca keberanianya mendakwahkan Islam
secara terbuka. Lantas apakah banyaknya kesulitan itu berhasil memukul mundur
baginda? Tentu tidak.
Tugasseorang
muslim adalah menyebarkan nilai-nilai Islam itu dimanapun berada. Dimana saja. Bukan
hanya di area aman apalagi zona nyaman, masjid kampus misalnya. Tempat paling
kondusif untuk para aktivis dakwah bertemu dan saling menebar salam. Berjabat
tangan, berpelukan dan saling berangkul mesra. Bukan pula hanya di
majelis-majelis. Taman surga dunia yang dikellingi para malaikat Allah yang
mulia. Bisa dipastikan yang hadir disana adalah mereka yang sadar akan
pentingnya ilmu agama.
Lalu bagaimana dengan orang-orang di
luar sana? Yang masjid terasa begitu jauh darinya. Yang majelis ilmu menjadi
sangat asing untuknya. Mereka yang tidak suka dengan kesan didakwahi, digurui dan
diatur dengan pesan ini dan itu. Bukankah mereka juga berhak merasakan manisnya
kebaikan? Bahkan Abu Lahab yang sangat membenci dakwah Rasulullah SAW pun tak
luput dari seruan baginda di bukit Shafa.
Ada seni menakjubkan yang akan
menjawab tantangan demi tantangan itu. Untuk mereka yang begitu rindu pada
cahaya, namun silau memandang nyala purnama. Kita `kan bawakan sinar-sinar
hangat rembulan untuk menerangi malamnya. Dengan seni, dengan penyesuaian pada
masing-masing objek dakwah yang kita temui.
Agar
tombak dakwah kampus ini menjadi tepat sasaran, menyentuh seluruh kalangan dan
bisa diterima. Ini bukan perkara yang mudah. Maka mari berkaca pada sejarah. Satu
kata kunci utama yang mengantarkan dakwah ini menyebar ke seantero dunia : Syi`ar.