Langit cerah, aku berusaha terus membidikkan
kamera ke arah objek-objek menarik di sepanjang jalan. Tujuan pertamaku adalah Le Mezquita, sebelum sampai disana aku harus berjalan
kaki beberapa puluh meter dan akan melewati sebuah lokasi dengan patung kuda
dan air mancur. Tempat ini bernama Plaza de Las Tendillass.
Aku
terkagum-kagum dengan arsitektur romawi kuno yang begitu cantik dan elegan.
Begitu sampai di depan area yang mirip seperti alun-alun kota, aku disambut
oleh air mancur yang tidak terlampau tinggi dan patung ksatria kuda yang gagah.
Gedung megah bertingkat dengan warna kekreman menegaskan keanggunan kota yang
didirikan oleh Cludius Marcellus pada zaman romawi kuno ini.
Angin
berhembus, menerbangkan rambutku yang sengaja kuurai. Rasanya seperti mimpi.
Aku telah berada di selat Gibraltar. Memeluk salah satu kota tertua Andalusia :
Cordoba.
Tak
terbayang olehku, kota ini pernah menjadi ibukota Spanyol pada saat
pemerintahan khilafah Bani Umayyah. Mengagumkan sekali. Aku jadi teringat
wanita itu, namanya Naurah. Ia juga mengagumkan, sama seperti kota ini. Aku
ingat benar kata-katanya :
“Orang-orang akan menilaiku berdasarkan apa
yang telah aku lakukan atau seberapa tinggi kualitas yang kuhasilkan. Bukan
dari bagaimana ukuran betisku, warna rambutku, lebar pinggangku ataupun
seberapa mulusnya kulitku. Aku sagat bebas !”
Ucapannya itu benar-benar
menyentakku, membuat aku tak bisa tidur malam itu. Aku merasa malu, sangat
malu. Ia gadis Eropa, lahir di Madrid. Keluarganya bukan muslim, di dekat
rumahnya juga tak ada masjid. Entahlah, aku tak tahu bagaimana cara Tuhan
memberinya jalan menuju Islam. Agama yang sudah kupeluk sejak aku masih bayi
merah. Delapan belas tahun, aku berstatus Islam dan aku nyaman dengan baju
ketatku, jeansku, rok pendek dan memamerkan kecantikanku di hadapan puluhan
atau bahkan ratusan bola mata setiap harinya. Naurah mu`alaf empat tahun lalu
dan ia berhijab rapi !
Air mancur terus saja menyemburkan
air, Cordoba merangkak senja. Aku harus kembali ke hotel. Dalam hatiku terus
saja berharap Naurah akan muncul lagi dihadapanku, bercerita banyak hal seperti
waktu itu.
***
Kubolak-balikkan lembaran buku panduan
wisata, nah ! aku
menemukannya. Mungkin lusa aku akan ke tempat ini, Medina Azzahra. Sebuah
kota yang didirikan oleh Khalifah Abdurahman III dan dilanjutkan oleh Khalifah
Alhakam II. Terletak sekitar 5 km dari pusat kota Cordoba. Dibangun sebagaimana
Alhambra, dengan nilai seni arsitektur yang tinggi dengan bahan bangunan khusus
didatangkan dari Afrika Utara berupa marmer, kayu Ebony dan material lain yang
ditemukan hampir diseluruh bagian Medina Azzahara. Benar-benar menarik ! Huuh,
tak salah aku memilih travelling ke Cordoba.
Hari
ini aku akan ke Mezquita, sebuah masjid paling bersejarah disini. Kusisir
jalanan kota yang menakjubkan. Sesekali rambut panjang yang kukuncir kuda
tersibak dihempas angin. Aku memakai jeans hitam, baju polos dan kardigan warna
coklat muda. Untuk alas kaki, aku lebih suka memakai boot. Ditambah ransel
kesayangan, aku sudah seperti traveller paling
kece saja.
Aku
sampai di gerbang Mezquita. Cordoba memang kota kecil, kemana-mana bisa jalan
kaki. Untuk bisa masuk aku harus membayar EUR 8. Memasuki kawasan masjid ini,
aku tak henti berdecak kagum. Kusapu tiap sudut halaman depannya, hey !apakah itu Naurah? Ia mirip sekali !Aku
berlari kecil menuju perempuan itu.
“Naurah…”
panggilku pelan.
Ia
menoleh, “Hei, Assalamu`alaikum” senyumnya merekah. Aku senang sekali.
“Wa..
Wa`alaikumsalam” jawabku terbatah. Aku sangat malu.
Ia
memandangku, “Mari duduk” ujarnya.
Naurah
sangat cantik. Bola matanya biru, kulitnya kemerahan. Dibalut kerudung merah
muda wajahnya kian mempesona. Aku sangat senang melihatnya. Sementara ia
berbicara tentang Le Mezquita dengan
bahasa Inggris yang fasih, pandanganku tak ingin lepas darinya. Kemudian hati
kecilku berbisik, kapan aku akan
berjilbab seperti dia?
“Mezquita adalah Masjid yang dibangun
semasa periode Abdul Rahman pada 785 sebagai ibukota Al-Andalus di situs gereja
kuno San Vicente…”
tuturnya.
Sejak
hari itu, kami kian akrab. Aku tak percaya Tuhan memenuhi keinginanku untuk
kembali bertemu dengannya. Kami bertukar nomor handphone dan intens berkomunikasi.
***
Aku menatap langit yang tak
berwajah. Malam ini tak satupun bintang muncul di langit kota tua Spanyol
selatan ini. Yang kupandangi hanyalah aliran sungai Guadalquivir. Pikiranku tak
di tempat.
“Kau
sangat beruntung Alea. Kau lahir di tengah keluarga islam. Tak ada yang
memusuhi keislamanmu, kau tak harus pergi jauh untuk mempertahankan keimananmu”
“Jadi
kau pergi dari Madrid demi mempertahankan keislamanmu?”
“Ya,
agar aku tenang dengan ibadahku, dengan hijabku. Tak ada lagi yang bisa
merampasnya dariku”
Tanpa kuminta, air mataku jatuh. Aku
tak tahu harus berkata apa pada Naurah sebagai alasan mengapa aku masih enggan
berjilbab. Aku malu, tapi aku tak bisa. Aku merasa belum pantas. Aku merasa
kotor, tidak sesuci Naurah, juga tidak sebaik dia. Hatiku bergejolak kuat. Dibawah
sana, Guadalquivir mengalir sendu.
Ponselku bergetar, ternyata ada
pesan masuk.
Alea,
tolong aku !
Dari
Naurah, sms itu dari Naurah. Ada apa? Apa yang menimpanya?!! Aku panik. Aku
menghubungi ponselnya tapi sudah tak aktif. Bagaimana mungkin? Aku bergegas
menuju rumahnya di dekat Rest Rincon de
Carmen.
“Naurah, Assalamu`alaikum.. Naurah
!” aku menggedor pintu.
Tak ada respon, Ya Tuhan... lindungi
Naurah. Angin malam berhembus, kukencangkan syal yang melingkar dileher. Aku
harus mencari Naurah ! aku mengintip lewat jendela namun aku tak melihat ada
orang. Rumah ini sangat sepi. Kulirik jam tangan : pukul sepuluh malam.Walau berat, aku melangkah pulang.
Delapan pagi waktu Cordoba. Aku
mengintai rumah Naurah lewat jendela kaca Rest
Rincon de Carmen, sebuah restoran halal di seberang rumah Naurah. Jantungku
berdebar. Kubenamkan diri dalam jaket hijau tua berbulu dan menarik secarik
Koran. Aku kembali melirik ke seberang jalan. Siapa itu?!! Ada dua orang
lelaki masuk ke rumah Naurah. Mereka berpostur tinggi dan berambut hitam. Aku
bergegas.
Mengendap-endap aku bersembunyi di
samping rumah Naurah, aku cukup terbantu oleh beberapa bunga berwarna hijau
yang tumbuh lebat dan menutupi tubuhku. Kakiku gemetar, sejujurnya aku sangat
takut.
“Kapan
kita membawanya pulang ke Madrid?”
“Secepatnya
! aku tak sabar ingin membakar pakaian anehnya itu !”
“Akan
kita paksa ia kembali seperti dulu dan meninggalkan agama barunya”
“Sementara
kita sekap ia di gudang kecil di kawasan Medina Azzahra ! gudang itu milik
teman lamaku”
Aku
terhempas, licik sekali orang-orang itu !
siapa mereka? Aku tak peduli, aku harus menyelamatkan Naurah.
“Buggh !” sebuah bunga gantung
terjatuh disisi kananku.
“Siapa itu?!!” teriak salah seorang
dari mereka.
Tuhan, tolong aku ! kakiku gemetar,
aku tak bisa berlari. Mereka mendekat. AyoAlea,
lari, lari, lari !!! aku melangkah dan berlari sekencang mungkin. Mereka
mengejarku. Lorong-lorong sempit Cordoba seakan menghimpitku, nafasku sesak,
aku tak kuat lagi. Tapi kakiku terus mengayun kencang, aku menoleh. Mereka kian
dekat dan nyaris berhasil menangkapku. Pandanganku nanar, kakiku lemas sekali. Tiba-tiba
gelap !
“Ciit…!”
Aku mendengar pintu berdecit keras.
Aku membuka mata, dimana ini? Disini pengap sekali, nyaris tak ada cahaya.
Kepalaku pusing. Sosok tinggi itu mendekatiku, aku sangat lemah.
“Apa tujuanmu?” ia menarik lenganku.
Aku membisu.
“Kau mengenal wanita bodoh itu?”
ucapnya seraya menunjuk ke arah kiriku.
“Apa kau mengenalnya?!!” bentak
laki-laki itu. Aku ketakutan.
Tanpa aku harus menerka, ia sudah
pasti Naurah. Langit telah runtuh di depan kedua mataku. Apa ini?!! Siapa yang melakuan ini padanya?!! Aku berteriak kuat
tanpa suara. Aku menangis deras, deras sekali. Lelaki itu pergi meninggalkanku,
ia mengunci pintu. Disini sangat gelap.
Aku beringsut pelan menuju tempat
Naurah berbaring. Lantai tempat ini sangat kotor, sekilas aku melihat beberapa
bekas percikan darah segar. Tanganku gemetar. Aku sangat ketakutan.
“Naurah…” ucapku terisak.
Aku menyentuh pakaiannya yang sobek.
Betisnya luka-luka. Jilbab merah muda Naurah berantakan, pasti ada yang
berusaha merampasnya dengan paksa. Juga ada bekas tetesan darah dari pelipis
Naurah yang terluka. Ia membuka mata.
Aku terus memanggil-manggil namanya,
tapi Naurah hanya diam. Naurah bangunlah,
kau harus bertahan ! wajahnya pucat, tangan Naurah dingin sekali.
“Alea…” ia memanggil namaku.
“Kaukah?”.
“Ya, Naurah ini aku. Aku Alea. Kau
harus bertahan Naurah !”
Ia kembali membeku, Naurah
kesakitan. Aku teriris mendengar ia merintih. Sementara darah terus menetes
dari pelipisnya yang luka parah karena terbentur.
Naurah memegang tanganku. Mataku
terasa panas sementara air tak hentinya mengalir dari sana.
“Tuhan, selamatkan Naurah !” aku
berteriak.
“Allah, katakan Allah…Tuhan kita
adalah Allah,” suara Naurah lirih.
“Allah, Allah…” aku memeluknya.
Naurah menitikkan air mata.
Aku tak tahu berapa lama Naurah
menahan luka yang sangat perih di sekujur tubuhnya, berulang kali aku berteriak
memohon agar kedua lelaki itu membuka pintu tapi hanya hembusan angin saja yang
menjawab teriakanku. Aku memeluk Naurah sepanjang malam, hingga Naurah
terlelap, sangat lelap.
***
Matahari menukik ke cakrawala.
Langit biru. Aku dalam perjalanan menuju ke bandara. Empat belas hari sudah,
aku menghirup atmosfer langit Al-Andalus. Kota ini menyimpan cerita pahit
buatku, namun disini pula aku menangkap hidayah yang tak pernah kusangka akan sampai
kepadaku.
Ini hari ketiga setelah hari
pemakaman Naurah. Rasanya masih seperti mimpi. Naurah, kau mengenalkanku pada
manisnya luka. Kau menang !
Mobil melaju kencang. Jilbab coklat
mudaku berkelebat diterpa angin. Aku berjanji Naurah, aku akan mempertahankan
hijabku, keimananku, hingga tarikan nafas terakhirku.
Bilakah
ajal `kan menjelang
Jemput rindu-rindu syahid yang
penuh kenikmatan
Cintaku hanya untukMu
Tetapkan muslimku selalu…