Nampaknya matahari sedang hobi melotot akhir-akhir ini. Tanah tempatku
berdiri seperti sedang dipanggang diatas oven kue raksasa. Panasnya minta
ampun! Aku meringsut masuk kebawah kolong meja demi mencari tempat teduh untuk
bergolek. Walau cuaca panas seperti ini, hobiku dan sebagian besar bangsaku tak
akan pernah berubah : bergolek sambil mengibaskan ekor. Bangsa kami memang
terkenal sangat pemalas dan manja. Mungkin itu sebabnya mengapa banyak manusia
yang sering sebal pada kami.
Hari ini sangat sial bagiku, aku
diusir dari rumah. Padahal perkaranya sederhana, aku hanya ingin mencicipi ikan
dencis goreng yang terhidang diatas meja. Tiba-tiba “Bugh!” dampratan dari
Nyonya Lis tepat mendarat dipunggungku. Tak puas, Nyonya Lis menyiramku dengan
air. Aku berlari kencang dengan ikan dencis goreng masih tergigit dalam
mulutku. Aku sangat lapar. Sejak Aini, puteri sulung Nyonya Lis berkuliah ke
pulau Jawa aku jarang diberi makan, karena memang dahulu Aini yang membawaku ke
rumah dan menyayangiku selalu.
“Dasar kucing kurang ajar ! pergi kau sana !”
Nyonya Lis marah bukan main, ia mengejarku dengan membawa sapu lidi. Hiii, aku
merinding melihat sapu lidi itu dikibaskan kearahku.
Dan disinilah aku sekarang, menumpang teduh di
warung Pak Tresno. Berharap ada sisa makanan yang dilemparkan kearahku .
Saat ini jam makan siang, pengunjung
setia warung Pak Tresno adalah para kuli angkat balok yang bekerja di
pabrik kayu milik orang Chinese. Saat
cuaca rasanya ingin membunuh dengan sengat api seperti ini, para kuli sudah
pasti akan meemesan es sebagai pendingin tenggorokan. Ah, apa yang bisa
kuharapkan dari para kuli itu? Aku tidak suka minum es, sementara mereka tidak
pernah memesan makanan kecuali gorengan. Jujur, aku tak bernafsu menyantap
gumpalan tepung yang berbalut minyak.
Sejurus kupandang aspal hitam yang terbakar
matahari. Tiba-tiba temanku yang berbulu belanh hitam putih muncul dari balik
ilalang diseberang jalan sana. Ia mendekat kearahku.
“ Meong…”
Ia berbelok menuju bangku panjang yang diduduki
para kuli, lalu tubuhnya menggeliat manja dikaki seorang kuli yang berwarna
cokelat tua. Secuil bakwan dilemparkan kearahnya, ia mengendusnya lalu
meninggalkannya.
“ Makanan apa yang mereka berikan? Tak ada
aroma penggugah selera kucing ditempat ini” omel temanku.
“ Heh, apa kau tak lapar?”
“ Aku sangat lapar” jawabku.
“ Ayo kita cari makanan” ajak temanku.
Aku menguap sejenak lalu mengikuti jejaknya
dari belakang. Kami berjalan menuju Dusun Suka Sari.
" Kita akan mencuri ikan asin di kedai Wak
Nur, kau ambil ikan asinnya lalu cepat lari yang kencang. Kalau sampai kita
tertangkap, habislah kita“ jelas temannku.
Tak lama menapaki jalanan desa, kami sampai di
kedai Wak Nur. Di depan pintu kami melihat seorang bapak tua berdiri menatap
isi kedai. Badannya kurus, sepertinya kurang makan sama sepertiku. Wajah orang
ini juga asing di mataku. Dia pasti bukan penduduk sini.
" Pak, bu sedekahnya. Saya belum makan “.
Oh, aku faham. Pasti dia pengemis. Lalu putera
sulung Wak Nur menghampiri bapak yang sepertinya sudah berdiri di depan kedai
mereka sejak tadi.
" Minta maaf ya pak “ ucap putera
sulung Wak Nur. Pengemis itu lalu pergi meninggalkan kedai.
Terkadang aku merasa sangat beruntung menjadi
seekor kucing. Tak perlu mengemis untuk dapat mengisi perut. Jika tidak diberi
makan oleh Nyonya Lis, tinggal mencuri saja dari tudung saji. Walau harus
menghadapi teror sapu lidi yang membuatku merinding, apadaya perutku lapar
sekali. Manusia ini pelitnya minta ampun ! nggak sama hewan, nggak sma manusia
rasanya berat sekali untuk membagi makanan. Maka jangan marah jika aku nekat
mencuri makanan. Ini semua demi perut, bung !
Kami mengendap-endap pelan memasuki kedai. Ikan
asin tepat berada di atas meja sebelah kiri. Hap ! aku melompatke atas meja.
Sedikit lagi aku mendapatkannya.
“ Kucing ! kucing !“
Aku tersentak, suami Wak Nur berlari kearahku
dengan membawa sapu lidi. Jantungku berdetak kencang. Aku turun dari meja dan
lari terbirit-birit bersama temanku.
“ Padahal sedikit lagi aku mendapatkannya“
ucapku jengkel.
Tak putus akal, kami mencari target lain. Kami
berjalan menuju rumah tinggi yang terdapat di seberang jalan. Bangunan peninggalan
kompeni itu nampak megah di mataku. Dindingnya kokoh, gaya arsitekturnya mirip
menara Syahbandar Batavia yang berdiri kokoh di atas benteng tua
Culemborg. Tapi tujuan kami tentu bukan rumah itu. Rumah bercat putih yang ada
di sisi nkirinyalah yang akan jadi target operasi kami selanjutnya.
"Kita masuk lewat jendela samping, lalu
langsung menuju meja makan" temanku memberi intruksi.
Tanpa ragu kami berjalan menuju jendela
samping, lalu aku melompat kemudian disusul temanku. Rumah ini besar, dimana ruang
makannya ? kami mengendap pelan takut ketahuan. Itu dia tudung sajinya.
Aroma ikan asin tajam terdeteksi oleh hidungku.
Aku siap melompat, ups !
ada orang. Apa dia pemilik rumah? Tapi sepertinya aku taka sing dengan wajah
orang itu. Lho, diakan bapak pengemis yang tadi ! apa ini rumahnya? Ah, tak
mungkin. Pria itu membuka tudung saji dan ingin mencomot makanan yang terhidang
di sana. Lalu seorang ibu muncul dari ruang tamu. Wajah ibu itu pucat menatap
bapak tua yang berdiri di dekat meja makan.
“ Maling, maling ! tolong… ada
maling !!! “ teriak ibu itu
keras sekali.
Pria yang diteriaki malimg itu cepat berlari
menuju pintu. Ia kalang kabut.
`` Tolong… maling !!! `` ibu itu terus
berteriak.
Tak lama warga datang dengan membawa pentungan
siap menghajar si maling nasi. Mereka berlari mengejar pria yang kelaparan itu.
`` Ayo cepat ambil ikan asinnya`` sertu
temanku.
Akupun bergegas menggigit ikan asin dari dalam
tudung saji. Aku benar-benar merasa beruntung diciptakan sebagai seekor kucing. Tapi, wajah pria lapar itu terbayang dimataku. Ah, entah sudah jadi apa tubuhnya sekarang.