Kamis, 04 Februari 2016 0 komentar

Mutiara di Medan Dakwah


Mutiara di Medan Dakwah

Dunia dakwah tak akan mungkin bisa dipisahkan dari sosok-sosok tangguh nan lembut bersahaja. Seperti yang kita tahu bahwa muslimah telah memainkan perannya bahkan sejak wahyu pertama diturunkan. Ketika Rasulullah SAW pulang dengan tubuh menggigil karena ketakutan sebab baru saja dihampiri oleh malaikat jibril, siapa yang menenangkan hatinya? Seorang muslimah. Istri tercinta baginda, ummul mukminin Khadijah r.a. Bayangkan jika saat itu tidak ada Khadijah, Rasulullah pasti sudah bingung bukan kepalang. Siapa yang akan mengatakan kalimat lembut yang meluluhkan hati siapapun yang mendengarnya ini :
“Jangan takut, demi Allah, Tuhan tidak akan membinasakan engkau. Engkau selalu menyambung tali persaudaraan, membantu orang yang sengsara, mengusahakan barang keperluan yang belum ada, memuliakan tamu, menolong orang yang kesusahan karena menegakkan kebenaran.” Begitu manis caranya menenangkan Rasulullah.
            Peran Khadijah tentu tak hanya berhenti sampai disitu. Kita telah mengenal sosoknya sebagai saudagar kaya yang sukses berniaga. Hartanya berlimpah. Namun semua itu sudah bukan lagi miliknya ketika risalah Al-Islam sampai di pundak suaminya. Hartanya adalah milik Islam. Ia mempersembahkan seluruh hartanya di jalan Allah. Menginfakkannya untuk kebutuhan kaum muslimin kala itu.
Khadijah memegang peranan yang begitu penting dalam perkembangan dakwah Islam di awal tahun kenabian yang sungguh penuh dengan cobaan. Disamping mengambil peran utamanya sebagai pendamping setia Rasulullah yang mengabdikan seluruh hidupnya untuk sang suami, ia juga mengambil peran sebagai pendukung dana dalam perjuangan Islam. Bahkan dalam suatu riwayat disebutkan bahwa Allah SWT menyampaikan salam untuknya melalui malaikat Jibril. Sungguh Khadijah r.a adalah teladan bagi kaum muslimah.
            Selain Khadijah ada sosok Ummahatul muslimin lainnya, termasuk Aisyah r.a. Sosok muslimah cerdas yang ceria. Aisyah berada di deretan ke empat  nama perawi yang paling banyak meriwayatkan hadits. Ia adalah satu-satunya muslimah diantara nama-nama tersebut. Aisyah telah meriwayatkan 2.210 hadits. Ia menghabiskan hidupnya begitu panjang bersama Rasulullah dan turut mewarnai perjuangan dakwah Islam.
            Kemudian siapa yang tak kenal dengan Sumayyah? Mujahidah tunggal di masa nubuwah. Ketika ia bersama suaminya, Yasir juga anaknya Ammar bin Yasir r.a mengalami penyiksaan luar biasa oleh orang-orang musyrik  yang dipimpin oleh Abu Jahal, tak sedikitpun keimanannya terusik. Ia lebih memilih menemui syahidnya diujung tombak kaum musyrikin yang menembus tubuhnya dari pada meninggalkan agama Muhammad yang mulia. Rasulullah semakin mengokohkan keimanannya dengan berkata, “Sabarlah wahai keluarga Yasir ! sesungguhnya tempat yang telah dijanjikan untuk kalian adalah syurga.”
            Ketiga nama tersebut; Khadijah,Aisyah dan Sumayyah adalah contoh dari sekian banyak nama-nama perempuan pejuang dalam Islam. Betapa kuatnya peranan kaum muslimah di medan dakwah. Imam Syahid Hasan Al Banna mengungkapkan, bahwa wanita muslimah mampu menggoyang ayunan dengan tangan kanannya dan mengguncang dunia dengan tangan kirinya. Masya Allah. Berbahagialah duhai kaum muslimah.
            Menjadi seorang da`iyah, seorang pejuang dakwah tentu sedikit banyak merubah sisi-sisi kehidupan seorang muslimah. Ia bukan lagi sosok-sosok centil yang lama mematut diri di depan cermin, sebab ia tahu bergegas menuju medan dakwah, bermandikan keringat disana adalah jauh lebih mulia adanya. Ia bukan lagi sosok manja yang suka mengeluh karena kesulitan dunia, karena sifat qona`ah telah terpatri kuat di dalam jiwanya. Ia bukan pula sosok shopaholic yang gemar menghabiskan rupiah di kantong belanja, karena para saudarinya sudah sering mengingatkan bahwa perbelanjaan terbaik itu ada di jalan Allah SWT. Ia berbeda, sangat berbeda. Medan dakwah menempanya menjadi demikian dewasa. Tangguh. Bersahaja.
            Perempuan-perempuan pejuang, ada di garda depan ketika diminta turun meneriakkan kalimat jihad militan. Juga ada di garda depan ketika dihadapkan pada seni menyentuh hati objek-objek dakwah. Itu juga alasan mengapa jika kita cermati, kader akhwat jauh lebih banyak jumlahnya. Inilah kelebihan muslimah. Saya tidak sedang menulis sebagai seorang feminis yang mengagungkan perempuan dan menuntut persamaan hak seperti kaum lelaki. Bukan. Saya hanya ingin menyampaikan betapa urgennya pergerakan bagi kaum muslimah, betapa mereka adalah mutiara yang berserakan di medan jihad fii sabilillah.
            Seorang muslimah harus berusaha untuk sholeh secara pribadi dan mensholehkan lingkungannya. Sangat penting untuk kita sadari bahwa muslimah memegang peranan terpenting dalam hal regenerasi pejuang-pejuang hebat. Separuh kecerdasan anak telah terbentuk sejak mereka ada di dalam kandungan, maka muslimah yang cerdas secara intelektual, emosional juga spiritual akan menurunkan sifat ini kepada anak-anaknya kelak.
            Dalam buku Kontribusi Muslimah Dalam Mihwar Daulah Sumaryatin Zarkasyi menuliskan bahwa setiap muslimah harus memiliki 5 karakter inti dalam dirinya, yaitu bertakwa, sejahtera, cerdas, berdaya dan berbudaya. Karakter yang telah tergambar jelas dalam pribadi ummahatul muslimin.
            Menjadi mutiara di medan dakwah. Sungguh merupakan suatu kebahagiaan bagi kaum muslimah. Menebarkan ajaran Islam yang mulia, menyentuh hati para objek dakwah dengan kelembutan lisan dan akhlaknya. Mencemburui para bidadari di dalam syurga. Maka sekali lagi mari kita bersyukur sepenuh jiwa, semoga kita bisa mengekspresikan rasa syukur itu dengan senantiasa meingkatkan kapasitas dan kualitas diri, kian semangat berdakwah dan memohon agar diberi keistiqomahan.
‘‘dan ada bidadari-bidadari yang bermata indah, laksana mutiara yang tersimpan baik.“
(Q.S Al Waqi`ah : 22-23)
Wallahua`lam bisshawab.



Referensi : Sirah Nabawiyah, Syaikh Shafiyurrahman Al Mubarakhfurri.
            Kontribusi Muslimah Dalam Mihwar Daulah, Sumaryatin Zarkasyi.
Selasa, 02 Februari 2016 0 komentar

Merajut makna lewat kata

Bersaudara kerenaNya


Sebuah pertalian yang didasarkan pada iman bisa dipastikan ia begitu erat. Sebuah hubungan yang mengikat dua, tiga empat, puluhan,  ratusan,  bahkan ribuan hati. Atas nama Rabbnya mereka saling mencinta.  Mengenal, memahami, saling tolong-menolong hingga mendahulukan  hajat saudara. Sungguh indah. Benarlah adanya, bahwa ikatan karena iman terasa lebih kental dari pada ikatan karena darah. Sebuah tali persaudaraan yang mengulur panjang hingga ke syurga. Yang para penikmatnya kelak akan dicemburui para Nabi juga para syuhada. Ikatan yang menurunkan hujan rahmat dari Rabb yang Maha penyayang : Ukhuwah Islamiyah.
Manis sekali ungkapan ini, Dalam dekapan ukhuwah, kita mengambil cinta dari langit. Lalu menebarkannya di bumi. Sungguh di surga, menara-menara cahaya menjulang untuk hati yang saling mencinta. Maka beruntunglah engkau yang merasakan bagaimana indahnya berukhuwah, bersaudara karena Allah semata. Di abad ini, saat banyak sekali manusia tertipu dengan fananya dunia, mereka yang menjadikan strata sosial, nilai materi sebagai pertimbangan untuk membina sebuah hubungan. Entah itu pertemanan, atau apa. Sungguh mereka bagai membangun rumah laba-laba. Bukankah teman, sahabat, saudara adalah tempat kita berbagi beban juga kebahagiaan, bersandar juga kawan dalam bersabar, mereka adalah rumah tempat berpulang. Banyak sekali manusia yang membangun rumahnya dari tali yang teramat rapuh, seperti laba-laba. Dengan sedikit saja gangguan rumah itu bisa porak-poranda, hancur tak berbekas. Kita harus sadar bahwa hanya ada satu hubungan pertemanan, persaudaraan yang kuat, kekal bahkan menghadiahkan naungan di hari perhitungan kelak : Ukhuwah Islamiyah.
Ukhuwah inilah yang memaut hati seorang Abu Bakar Ash Shiddiq pada saudara seperjuangannya, kekasih Rabbnya Rasulullah Muhammad SAW. Di tahun ke 14 nubuwah. Dalam perjalanan hijrah yang membutuhkan tadhiyah (pengorbanan) sepenuh jiwa. Di sebuah gua yang berada di selatan kota Mekah, terukir kisah persaudaraan yang abadi sepanjang sejarah.
Sampai di mulut gua, Abu Bakar berkata : ‘‘Demi Allah, janganlah engkau masuk ke dalamnya sebelum aku masuk terlebih dahulu. Jika di dalamnya ada sesuatu yang tidak beres, biarlah aku yang terkena, asal tidak mengenai engkau.‘‘ lalu Abu Bakar memasuki gua dengan menyisihkan kotoran yang menghalangi. Di sebelahnya dia mendapatkan lubang. Dia merobek mantelnya menjadi dua bagian dan mengikatnya ke lubang itu. Robekan satunya lagi dia balutkan ke kakinya. Setelah itu Abu Bakar berkata kepada beliau, ‘‘Masuklah!‘‘. Maka beliaupun masuk ke dalam gua. Setelah mengambil tempat di dalam gua, beliau merebahkan kepala di atas pangkuan Abu Bakar dan tertidur.
Tiba-tiba Abu Bakar disengat hewan dari lubang yang tadi. Namun ia tidak berani bergerak, karena takut akan mengganggu tidur Rasulullah. Dengan menahan rasa sakit, air mata menetes ke wajah Rasulullah.
‘‘Apa yang terjadi wahai Abu Bakar?‘‘ tanya beliau.
Abu Bakar menjawab, ‘’Demi ayah dan ibuku menjadi jaminan, aku digigit binatang.’’
Kemudian Rasulullahpun mengobati luka di kaki Abu Bakar.
Demi dzat yang Merajai jiwa manusia, apa yang membuat mereka begitu saling mengasihi dan mendahulukan satu sama lain? Ukhuwah yang telah mengakar kuat di dalam jiwa. Hati mereka terikat. Sebuah perasaan yang sulit untuk dijelaskan. Ia hanya akan menjadi benar-benar nyata ketika kita merasakannya. Dan ukhuwah Islamiyah, persaudaraan karena kesamaan akidah hanya akan dirasakan oleh mereka yang hidup hatinya. Nyala oleh cahaya keimanan.
Maka saudaraku, marilah kita melapangkan hati, membuka ruang dalam nurani. Kita turuti wasiat sang Nabi : Jadilah hamba-hamba Allah yang bersaudara. Bersaudara itu mengenal, memahami, menolong  juga mendahulukan. Ikhlas menyayangi, mendo’akan di sepertiga malam yang pekat sunyi. Lantunan rabithah juga tak kalah manis untuk dibisikkan di ujung sajadah. Bersaudara memang sungguh indah. Sekali lagi, mari kita melapangkan hati. Semoga kelak Allah ridhai kita untuk memantik cemburu di kalangan para Nabi juga para syuhada disana. Allah berikan kita naungan saat tak ada lagi naungan di hari itu kecuali naunganNya. Sebab kita memegang erat pertalian yang suci itu. Sebab kita berukhuwah islamiyah dan komitmen untuk menjaganya.

Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa itu berada dalam surga (taman-taman) dan (di dekat) mata air-mata air (yang mengalir).  (Dikatakan kepada mereka): “Masuklah ke dalamnya dengan sejahtera lagi aman ” . Dan Kami lenyapkan segala rasa dendam yang berada dalam hati mereka, sedang mereka merasa bersaudara duduk berhadap-hadapan di atas dipan-dipan.
(QS Al Hijr: 45-47)


Wallahu a`lam bisshawab.

Referensi : Sirah Nabawiyah, Syaikh Shafiyurrahman Al Mubarakhfurri.



 
;