Selasa, 14 November 2017 0 komentar

Cantik Itu...





Hari itu di salah satu sudut kampus aku bertemu dengan Lily, seorang teman yang sudah cukup lama kukenal. Ia tampak sibuk membawa beberapa barang. Meski sedang kerepotan begitu ia tetap cantik. Rambutnya yang lurus diikat rapi, penampilannya trendi dan menarik. Seperti biasa. Ya, Lily memang selalu mempesona. Aku melambaikan tangan berharap ia menoleh ke arah tempatku berdiri.
“Eh, Aldi. Mau kemana?”
Lily berjalan ke arahku. Tapi, siapa yang bersamanya? Ia mengajak seseorang. Gadis itu cukup asing, aku bahkan baru kali ini melihatnya bersama Lily. Bajunya terusan dan tampak kebesaran. Jilbabnya panjang sekali mirip ibu-ibu wiritan. Dia tak pandai menata penampilan, pikirku.
“Mau kemana, Al?”
“Eh, ini mau nge-lab. Biasa..”
“Oo. Rajin bener.”
Aku hanya tertawa dipuji begitu. Lihatlah, make up yang dipakai Lily membuatnya tampak semakin manis. Mataku lalu tertuju pada gadis di sampingnya. Wajahnya biasa saja. Polos tanpa segurat riasan. Tidak menarik. Dia harus banyak belajar dari Lily.
“Kabarnya gimana?”
“Baik.” jawabku menjabat tangannya yang sudah terulur. “Kamu gimana?”
“Baik..”
” Ini, siapa Ly?” tanyaku penasaran.
“Oiya. kenalin ini Sinta, temenku.”
Gadis itu menunduk. “Sin, kenalin ini Aldi temenku juga. Anak Biologi.”
Aku bingung, kenapa dia cuma menunduk. Mungkin pemalu, batinku.
“Aldi..” ucapku sambil menyodorkan tangan.
Tiba-tiba gadis itu mengatupkan kedua tangannya sambil sejenak melihat wajahku. “Sinta..”
“Eh.. iya.” refleks kutarik tanganku kembali.
Degg... Ada yang berbeda saat peristiwa sepersekian detik itu terjadi dihadapanku.
“Yaudah kita duluan ya, Di.”
“Iya iya.”
Lily berlalu bersama gadis itu. Dan tiba-tiba saja, gadis itu menjadi begitu cantik dalam pandangan kedua mataku.


                Kira-kira seperti itulah kisah nyata yang pernah saya baca setahun yang lalu. Tapi lupa bacanya dimana terlebih lagi penulisnya siapa. Yang jelas kisah itu benar-benar “ngena” di hati saya. Cantik. Wah, ternyata definisi cantik bisa berubah hanya dalam hitungan menit saja. Kisah itu sangat recomended untuk para muslimah dimanapun berada. Sungguh, berbahagialah. Cantikmu itu berbeda, saudariku.
                Just share, tidak sedikit teman-teman saya yang ngeluh tentang penampilannya yang tidak bisa secantik orang lain. Kenapa gak seputih dia, kenapa gak sekurus dia, gak semancung dia, gak semampai kayak dia, de el el. Dan saya yakin, semakin sering kalimat itu terucap, semakin jauh pula ketenangan dari hatinya.
                Rumus cantik adalah bersyukur :) dengan bersyukur, kamu cantik. Jika bukan di mata manusia, kamu cantik bagiNya. Karena kamu telah berterima kasih atas pemberiannya yang sempurna. Tanpa cacat. Bahkan mereka yang Allah ciptakan dengan kekurangan fisik bisa sangat bersyukur dan banyak menjadi hafizhah Al Qur`an, nah kita yang sempurna gimana? Masih dipusingkan dengan merasa kurang cantik, kurang ini, kurang itu. Sementara amal baik aja males-malesan. Tapi nuntutnya banyak amat.. Astaghfirullah.
                Lihatlah kisah Aldi diatas. Itu kisah nyata loh, based on true story. Mungkin Aldi adalah gambaran penilaian umum dari seorang laki-laki. Tanpa kacamata iman, cantik hanyalah cakupan makna artifisial yang sementara. Itulah yang selama ini didoktrinkan oleh kaum kapitalis-materialis yang menjadikan perempuan sebagai objek keuntungan. Padahal cantikmu jauh diagungkan oleh penciptaMu yang mulia, dan kamu dijaga bak permaisuri dalam aturan Islam yang sempurna. Tak sembarangan orang boleh menyentuhmu, melihat bentuk tubuhmu, indahnya penciptaan Allah di dalam dirimu. Kamu adalah ratu yang dimuliakan, jika kamu seorang muslimah. Beruntungnya!
                Maka jangan lagi menghukum dirimu dengan rasa minder. Meski bukan dia, kamu cantik apa adanya. Menjadi kamu. Bersyukurlah dan berfikir positif, dekati teman-teman yang positif, aktivitas yang positif dan sebarkan aura cantikmu itu. Aura yang dipancarkan oleh cahaya keimanan. Kepercayaan penuh kepadaNya, keyakinan melangkah dengan kaki sempurna pemberianNya. Jadilah kamu yang bercahaya, dengan sinarmu sendiri. Sinta dalam kisah diatas tentu bukan Lily yang dipuja, tapi keshalihan yang ada padanya mampu mematahkan definisi cantik yang telah tertata rapi di kepala Aldi, bahkan mungkin berjuta laki-laki diluar sana. Tentu saja, sebab cantikmu beda. Cantik yang hakiki. Cantik itu... saat kamu patuh pada setiap aturanNya.

“Di dalam surga-surga itu ada bidadari-bidadari yang baik dan jelita.”
(Q.S Ar Rahman: 70)


Minggu, 01 Oktober 2017 0 komentar

Allah Maha Baik



Assalamu`alaikum warahmatullah wabarakatuh.

Apa kabar, sahabat?
Semoga sedang dalam keadaan baik dan dimudahkan segala urusannya oleh Allah SWT, jika ada yang sakit segera disembuhkan dan yang sehat ditambahkan rasa syukurnya. Aamiin ya Rabbal `alamiin. Hari ini saya ingin berbagi cerita tentang pengalaman yang selalu membuat saya tertegun, sejenak kembali menginsyafi betapa Allah Maha Pemurah dan Maha Berkuasa atas segala sesuatu. Izinkan saya membagikan cerita ini kepada semesta. Semoga tulisan kecil ini bisa membuat kita kembali mengingat kebesaran Allah SWT. 

Berawal dari pengajian di masjid agung Medan pada minggu kedua bulan September 2017. Saya hadir disana karena tugas dari sekolah tempat saya menjalani program PPLT. Tentu semuanya atas skenario Allah. Dan pada hari itu bertepatan menjelang tahun baru hijriah. Buya-sebutan untuk al ustadz- menyampaikan tentang amalan-amalan yang dianjurkan pada bulan Muharram. Salah satunya membahagiakan anak yatim. Walaupun ada pendapat yang menyampaikan bahwa mengkhususkan tanggal 10 Muharram sebagai “hari raya”nya anak yatim termasuk bid`ah dikarenakan dalil yang tidak shahih, tapi bagi saya pribadi  tidak salah jika kita mengambil sisi positif dari kebaikan yang disampaikan.

Saat itu al ustadz dengan semangat menyerukan kepada jama`ah untuk berlomba-lomba mencari anak yatim. Bukan sekedar untuk diundang, diberi makan dan amplop sekedarnya. Tapi bagaimana kita bisa membahagiakan mereka, memberi pengalaman yang tidak pernah mereka rasakan sebelumnya, mengajak liburan misalnya. Di kota lain sudah sering dilakukan agenda rihlah bareng ratusan anak yatim. Saya kira pasti sangat menyenangkan. Ibu-ibu jama`ahpun sangat  antusias menanggapi. “Tapi selain liburan, ada yang lebih utama untuk dilakukan” sambung al ustadz. Apa itu? menjamin pendidikan mereka hingga dewasa. Memberikan beasiswa untuk masa depan mereka. Seketika hati saya bergetar, teringat dengan coretan kecil di buku agenda beberapa bulan lalu. Allah... memberikan masa depan untuk anak yatim piatu. Cita-cita itu sudah terpatri jelas di buku dan di dalam hati. Semoga Allah melindungi saya-kita semua- dari sikap riya, karena sungguh tidak ada maksud sama sekali untuk itu, saya hanya ingin berbagi. Maka biarkan saya menyelesaikan cerita ini dan bacalah sampai habis. 

Melihat antusias jama`ah, saya kian menunduk. Di awal saya mengetahui bahwa jama`ah dzikir ini banyak diikuti oleh orang-orang “gedean”, wajar jika mereka langsung semangat meng-iya-kan seruan ustadz. Tapi bagaimana dengan saya? Seorang mahasiswi semester tujuh yang belum punya apa-apa. Bahkan semuanya masih meminta kepada orangtua. Harus dengan apa saya menyantuni anak yatim tahun ini? Seketika perasaan sedih bergumul di dalam hati. Mengingat target foundation impian yang dirancang untuk 15 tahun kedepan. Masih sangat panjang, saya bergumam. Itupun masih impian.  Dan siang itu sepanjang perjalanan pulang banyak yang terlintas di dalam pikiran, tentang bagaimana agar bisa membahagiakan anak yatim di tahun ini. Satu anak saja, ya Rabb. Tapi tidak ada jawaban, saya tidak menemukan solusi apa-apa.
Waktu berlalu, dan hari-hari berjalan seperti biasa. Saya pun sudah terlupa dengan masalah santunan itu. Dua minggu kemudian saya mengikuti sebuah agenda dakwah. Siang itu di bawah naungan pohon-pohon durian yang belum berbuah kami duduk bersama. Agenda berjalan normal dan semua terasa menyenangkan. Hingga jam ishoma (istirahat-sholat-makan) tiba. Seorang anak laki-laki duduk di dekat kami. Mengamati kegiatan yang kami lakukan saat itu. Ia tidak berbicara sedikitpun, hanya melihat-lihat. Pakaiannya lusuh. Sesekali ia berpindah tempat dan saat ini dekat sekali dengan tempat saya duduk. 

Teman-teman akhwat yang lain menyiapkan nasi beserta lauk-pauknya. Diselingi senyum dan tawa yang renyah, kami bersiap makan siang bersama. Anak lelaki itu mengamati.
“Adek udah makan?”
Ia hanya mengangguk.
“Bener?”
“Iya kak, udah.” jawabnya.
“Sini.. makan lagi ya?”
Ia lama menatap, lalu beringsut mendekat. “Iya.” ucapnya.
Seporsi nasi, mi goreng, sambal kentang dan kerupuk tersaji di hadapannya.
“Ayo, dimakan..”
Ia meraihnya dan makan bersama kami. Sejujurnya saat itu perasaan saya tidak karuan. Jika tidak malu, saya ingin sekali menangis. Sambil makan kami bercerita lebih jauh. Hingga satu kalimat keluar darinya.
“Aku anak yatim, kak. Mamakku udah gak ada. Aku tinggal sama bapak..”
Deg..
Allahu akbar, allahu akbar, allahu akbar. Saya kembali takjub. Gerimis itu kini jatuh lebat di dalam hati. Menyirami rasa syukur dan membuatnya tumbuh subur. Sungguh, tak ada yang mustahil bagi Allah. Begitu sederhana dan memesona, cara Allah menjawab permintaan saya. Keinginan untuk membahagiakan seorang anak yatim, walaupun hanya dengan makan siang bersama dan makanannya pun bukan dari saya seorang, tapi melihat anak lelaki itu kenyang dan senang rasanya sungguh tak terungkapkan. 

Saat itu, dihadapannya saya kembali berdo`a. Kelak harus ada lebih banyak anak yatim yang merasa bahagia. Bagus pakaiannya, tidak kelaparan, tidak kesusahan dan terjamin masa depannya. Kita  harus bisa melakukannya. 

Kini untuk kesekian kalinya, saya kembali jatuh cinta.Tidak ada yang menandingi kemaha agunganNya. Ada saja cara Allah memberi kejutan untuk kita, membahagiakan kita, membuat kita terpana. Sore itu bersama perginya anak laki-laki yang belum saya ketahui namanya itu, sebuah kerinduan kian membiru. Untuk kekasih Allah, Muhammad SAW. 

Rasulullah, dahulu juga terlahir sebagai yatim. Maka mencintai anak-anak yatim adalah salah satu wujud cinta kita kepadanya. Jika saja kita memahami makna perkataannya,
Kedudukanku dan orang yang mengasuh anak yatim di surga seperti kedua jari ini atau bagaikan ini dan ini.”( H.R Bukhari)
tentu kita akan berlomba-lomba menjemput yatim ke dalam kerumah. Tidak akan ada lagi anak-anak yang terlantar, kelaparan dan tidak bisa sekolah. Pengalaman amazing yang saya rasakan ini semoga bisa menjadi semangat dan motivasi. Tidak ada yang mustahil bagi Allah. Semua ada jalannya. Jangan pernah berputus asa. Wa tawakkal `alaAllah. Afwan minkum.

Wassalamu`alaikum warahmatullah wabarakatuh.



Sabtu, 29 April 2017 0 komentar

Mengingati Tuhan




Diatas segala payah ada yang jera
mengais pengharapan dalam tiap hembusan bait do`a.
Hadirkah Engkau disana?
Menyaksikan segala tumpah air mata.

Pada yang menyanjungi bahagia pun ada yang lena
berkira mati tiada kan menyapa.
Hadirkah Engkau padanya?
Merasai durhaka dan syukur yang kerap alpa.

Adalah keniscayaan.
Bagaimana bisa kami berlepas diri dari yang menciptakan
Merangkai irama detak jantung kami
Menghembuskan nafas nafas kami
Menghidupkan kami
Mematikan kami.

Dalam kelukaan yang dalam kami beringsut pelan ke hadapanNya
Mengakhirkan kesedihan, mengkhatamkan kesakitan.
Sebab hanya pada Tuhan segala air mata kita berpulang.
Hanya pada Tuhan pengharapan beranak tangga menjadi kuasa.
Jua kepada Tuhanlah tawa bahagia kita menari
Di tiap kesyukuran, di tiap pencapaian.
Tiada Ia pernah meninggalkan
Sedetik saja, kita menjelma jadi debu
Sedetik saja, kita mati dalam perih
Tanpa mengingatiNya.




Minggu, 16 April 2017 0 komentar

Berkaca Pada Sejarah





Kala cahaya Islam mulai memendar di bumi Mekah Al Mukarromah, tiada yang pernah mengira jika akhirnya cahaya itu bisa menyelimuti dua per tiga belahan dunia.Hari yang menyejarah dimulai ketika itu. Saat matahari merangkak naik, membiaskan sinar diantara bongkah-bongkah batu bukit tempat Siti Hajar pernah memasrahkan diri di hadapan Tuhannya. Kini sejarah mengenai ketundukan seorang hamba akan terulang, namun dengan jalan cerita yang sudah pasti berbeda.

        Pagi itu Shafa membisu. Hembusan angin perlahan membisikkan kehadiran sosok yang akhlaknya paling terpuji di seantero kota Mekah. Atas perintah TuhanNya ia bergerak.

        “Dan berilah peringatan kepada keluargamu yang terdekat.“



        Perlahan Rasulullah menaiki bukit itu. Menapakkan kakinya tanpa ragu, sekalipun baginda tahu kaum Quraisy tidak akan mudah menerima apapun yang akan beliau katakan di atas bukit sana.

        “Wahai Bani Fihr, Bani Ady, keluarga keturunan Quraisy…”Seru baginda dengan lantang. Maka berkumpulah semua orang, bahkan jika ada yang tidak bisa hadir, mereka mengirimkan perwakilan untuk mendengarkan apa yang akan Rasulullah katakan. Abu Lahab turut hadir disana kala itu.

          “Bagaimana jika ku katakan kepadamu, bahwa di balik bukit sana ada pasukan berkuda yang akan menyerangmu. Apakah kamu semua akan mempercayainya?“



          “Ya, kami percaya.“ Jawab mereka serentak. Sebab belum pernah mereka temui seseorang yang lebih jujur perkatannya dari baginda.



          “Sesungguhnya aku adalah pembawa peringatan dari sisi Allah sebelum datangnya azab yang besar….“ Sambung Rasulullah.



        Setelah mendengar ucapan Rasulullah SAW, Abu Lahab langsung  berteriak ke arah baginda. Ia sangat marah dan tidak suka dengan perkataan beliau.

        “Binasalah engkau hari ini, apakah untuk alasan ini kau mengumpulkan kami semua disini?“ ucapnya pongah.

        Sungguh betapapun pahit perkataan dari Abu Lahab, Rasulullah tak gentar. Allah SWT langsung menurunkan firmanNya ketika itu.

“Binasalah kedua tangan Abu Lahab, dan benar-benar binasalah ia.“

(Q.S Al Lahab : 1).


***


        Jika saja ketika itu Rasulullah SAW tidak memulai tahap dakwah yang kedua yaitu dakwah secara terang-terangan dan mensyi`arkan Islam secara terbuka, tak akan pernah tersentuh hati-hati yang awalnya diselimuti kekafiran hingga akhirnya berjalan menuju hidayah.

        Andai Rasulullah SAW menyimpan manisnya iman dan islam itu hanya untuk beliau dan terus merahasiakannya tanpa berani menyeru kepada keluarga dan masyarakat, mungkin tak akan pernah kita temukan sejarah-sejarah heroik penaklukan yang menghadiahkan kejayaan untuk agama Islam yang mulia. Namun kita tahu, Rasulullah SAW tak mungkin sealpa itu. Baginda sangat berbeda dengan kita. Jauh berbeda.

        Yang telah kitabaca dan resapi tadi adalah sepenggal sejarah awal mula Rasulullah SAW menyerukan Islam secara terbuka. Meski setelah itu baginda dan kaum muslimin dihadang dengan berbagai macam derita dan penyiksaan dari kaum kafir Qurays.


        Serasa bagai disayat sembilu saat Fatimah binti Muhammad berlari-lari menuju ka`bah, kemudian dengan bercucuran air mata ia membersihkan isi perut unta yang telah memenuhi punggung serta leher ayahandanya yang tengah bersujud dihadapan RabbNya.  Juga Bilal bin Rabbah yang kisahnya begitu abadi. Mungkin kelak padang pasir itu akan bersaksi betapa dahsyatnya siksaan yang dilakukan Abu Jahal pada Bilal. Bilal yang kulitnya melepuh dibawah tindihan batu raksasa namun masih teguh berkata, “Ahad.. ahad.. ahad.” Pun pada Yassir, Sumayyah beserta Ammar bin Yassir r.a siksaan Abu Jahal tak kalah pedihnya. Lalu disusul dengan piagam perjanjian dari kaum musyrikin yang disepakati di halaman Bani Kinanah tepat berada di lembah Al Makhsab, dimana perjanjian ini sangat menyiksa kaum muslimin bertahun-tahun lamanya.


        Namun ada hikmah yang begitu dahsyat dibalik segala cobaan yang bertubi-tubi mendera kaum muslimin. Tahapan dakwah secara terbuka ini juga menjadi titik tolak meluasnya gema ajaran Islam di bumi Mekah. Aroma hadirnya semakin semerbak di sudut-sudut pasar, mengisi perbincangan penduduk seisi kota.

        Dari sejarah nan pahit ini para penerus misi risalah di masa depanpun bisa belajar, bahwa tidak ada jaminan kebahagiaan terlebih lagi keberlimpahan harta bagi para penyeru kebenaran. Tidak ada. Sahabat karib mereka adalah totalitas, pengorbanan dan luka demi mengatakan yang haq.


        Kita pasti akan tertunduk malu hari ini jika membandingkan betapa beratnya cobaan yang dihadapi kaum muslimin saat itu untuk sekedar menyatakan keimanan dan mensyi`arkan ajaran Islam di tengah masyarakat. Sementara kita saat ini terkadang masih enggan untuk mempersembahkan sikap totalitas dalam hal syi`ar Islam. Dalam hal membumikan kalam-kalam langit. Kita masih sering lupa untuk memikirkan serta menerapkan strategi terbaik agar seluruh civitas akademika bisa mendengarnya terlebih menerima inti kebenarannya.


“Maka sebarkanlah  apa yang telah diperintahkan kepadamu dan berpalinglah  dari kaum musyrikin “

(Q.S Al-Hijr: 94)       

          Sebarkanlah. Jelas sekali kata itu terpatri dalam Al Qur`anul kariim. Betapapun berat dan resiko yang dihadapi dipastikan tidak kecil, seperti apa yang telah digoreskan sejarah, sosok  sekaliber Rasulullah SAW saja mengalami berbagai kepahitan pasca keberanianya mendakwahkan Islam secara terbuka. Lantas apakah banyaknya kesulitan itu berhasil memukul mundur baginda? Tentu tidak.

Tugasseorang muslim adalah menyebarkan nilai-nilai Islam itu dimanapun berada. Dimana saja. Bukan hanya di area aman apalagi zona nyaman, masjid kampus misalnya. Tempat paling kondusif untuk para aktivis dakwah bertemu dan saling menebar salam. Berjabat tangan, berpelukan dan saling berangkul mesra. Bukan pula hanya di majelis-majelis. Taman surga dunia yang dikellingi para malaikat Allah yang mulia. Bisa dipastikan yang hadir disana adalah mereka yang sadar akan pentingnya ilmu agama.

          Lalu bagaimana dengan orang-orang di luar sana? Yang masjid terasa begitu jauh darinya. Yang majelis ilmu menjadi sangat asing untuknya. Mereka yang tidak suka dengan kesan didakwahi, digurui dan diatur dengan pesan ini dan itu. Bukankah mereka juga berhak merasakan manisnya kebaikan? Bahkan Abu Lahab yang sangat membenci dakwah Rasulullah SAW pun tak luput dari seruan baginda di bukit Shafa.

          Ada seni menakjubkan yang akan menjawab tantangan demi tantangan itu. Untuk mereka yang begitu rindu pada cahaya, namun silau memandang nyala purnama. Kita `kan bawakan sinar-sinar hangat rembulan untuk menerangi malamnya. Dengan seni, dengan penyesuaian pada masing-masing objek dakwah yang kita temui.

          Agar tombak dakwah kampus ini menjadi tepat sasaran, menyentuh seluruh kalangan dan bisa diterima. Ini bukan perkara yang mudah. Maka mari berkaca pada sejarah. Satu kata kunci utama yang mengantarkan dakwah ini menyebar ke seantero dunia : Syi`ar.
 
;