Foto menara masjid Unimed. Diambil saat sedang duduk menunggu di samping gerobak bakpao.
“...Karena
tadi izinnya ke satpam cuma mau ke masjid, kak. Bukan mau jualan.”
Jawaban
yang terdengar terbata itu mengalun di telinga. Diucapkan jujur dan apa adanya,
namun menggetarkan. Kami speechless.
Asap panci penghangat bakpao mengepul-ngepul ke udara. Bersaing dengan asap
kendaraan yang antri di badan jalan. Aku dan kedua sahabatku saling lirik.
“Ini
kak, bakpaonya. dua coklat, satu ayam.”
Setelah
membayar sejumlah uang kami bergegas meninggalkan gerobak bakpao itu. Dengan
kekaguman di hati masing-masing. Rabbana, manis sekali iman yang mengalir di nadi kehidupan. Mengairi setiap
lekuknya. Tanpa jeda.
***
Peristiwa
Selasa sore itu memberi bekas di hati kecilku. Sepotong hikmah yang Allah
titipkan lewat gerobak bakpao. Tanpa diduga. Berawal dari keinginan membeli
jajan bersama kedua sahabat, langkah kami dituntun menuju pelataran parkir
masjid kampus dan menemukan gerobak berwarna biru muda. Di etalasenya yang jernih
tampak kue bakpao berbaris rapi. Aromanya wangi menambah rasa lapar kami. Tapi
disana tidak kami temukan sosok penjual bakpao itu. Kami menelisik sekeliling.
Nihil. Kami memutuskan untuk menunggu beberapa saat.
“Lama
nih bapaknya. Jajan yang lain aja, gimana?” tanya salah seorang sahabatku.
Aroma
bakpao yang terlanjur memikat indra penciuman membuatku meminta mereka bersedia
menunggu lebih lama. Dengan seringai senyum mereka mengiyakan. Hingga salah
satu dari mereka menemukan selembar uang seratus ribu rupiah tepat di bawah
gerobak bakpao itu. Sekarang kami punya alasan lebih kuat untuk menunggu bapak
penjual bakpao hingga kembali ke gerobaknya.
Waktu
bergulir, semburat keemasan mulai menghias langit yang tadinya berwarna biru
muda. Hari merangkak senja. Bapak penjual bakpao tak kunjung muncul dalam
pandangan. Satu jam berlalu dan kami mulai gelisah. Dimana keberadaan bapak
penjual bakpao itu? Berjuta hipotesis menyembul-nyembul di kepala kami. Hingga
kami bersepakat pada satu dugaan, bahwa bapak penual bakpao sedang mengikuti
kajian di dalam masjid. Entah seperti apa wajah bapak penjual bakpao itu, kami
sama sekali tidak tahu. Uang seratus ribu rupiah itu berhasil menahan kami
untuk tidak beranjak sebelum berhasil memastikan apakah ia milik bapak penjual
bakpao atau bukan.
Pukul
enam lebih beberapa menit, jama`ah bubar dan kami mencari-cari sosok bapak
penjual bakpao yang telah lama dinanti. Beberapa pelanggan lain mulai ramai
mengantri. Dari yang mulanya hanya kami bertiga, kini ada hampir sepuluhan
orang. Alhamdulillah, rezeki melimpah.
Tidak
lama kemudian, sosok muda dengan kemeja berwarna abu-abu berjalan cepat ke arah
gerobak. Langkahnya sigap. Tangannya meraih ujung gerobak dan dengan cekatan
mendorongnya melaju ke depan. Kami terdiam heran. Beberapa pelanggan
menjelaskan mereka ingin membeli dagangan pemuda itu, dan ia hanya mengatakan
satu kalimat sambil terus mendorong gerobak bakpaonya dengan cepat.
“Iya
di depan aja, ya.” jawabnya singkat.
“Jadi,
itu yang jual bakpaonya? Ternyata bukan bapak-bapak, tapi masih muda.” ujarku
berbisik pada kedua sahabatku.
Kami
bertiga saling menatap. Masih bingung dan bertanya-tanya. Kenapa sikap pemuda
itu aneh sekali? Mungkin ia ingin ‘menjaga’ karena pembelinya saat itu
mayoritas kaum perempuan, sehingga sikapnya demikian. Tapi, masih sulit
diterima. Kami bergegas mengejar gerobak bakpao itu.
Tepat
di depan gerbang kampus, pemuda tadi memarkirkan gerobaknya. Di luar pekarangan
kampus, beberpa meter dari masjid tempat tadinya gerobak itu berada. Banyak
pembeli antri memesan. Kami menunggu di belakang. Ketika pembeli sudah mulai
sepi, kami mendekat.
“Bang,
rasa coklat dua, ayam satu.”
Pemuda
itu mengangguk, lalu dengan terampil memanaskan bakpao pesanan kami. Aku dan
kedua sahabatku masih saling lirik, kami ingin sekali menanyakan alasan sikap
aneh penjual bakpao tersebut. Dengan nada yang diusahakan biasa, salah seorang
sahabatku nekat bertanya.
“Kenapa
ga disana aja tadi, bang?”
“Karena tadi izinnya ke satpam cuma mau
ke masjid, bukan mau jualan.”
Deggg...
Kami mengangguk pelan. Berupaya
menangkap selaksa hikmah yang hangat mengudara, meraihnya, membungkusnya dalam
kantong kebaikan dan membawanya pulang. Betapa dahsyat. Kemurnian akidah muslim sejati. Memang hal itu sangat sederhana, tapi sungguh ia adalah
bukti dari sebuah komitmen. Pedagang bakpao yang berintegritas. Janjinya
bukan kata yang terucap tanpa bukti. Janjinya terikat pada penjagaan malaikat
di sisi, pada pengawasan Allah Yang Maha Memberi Rezeki. Amanah. Salah satu
sifat yang menghiasi kehidupan para salafusshalih. Dan hari ini di hadapan
kami, terhidang akhlaqul karimah yang indah mengkristal. Berkilau
disinari pesona tawakkal.
Rasa takut akan pengingkaran janjinya
pada pak satpam membuahkan rezeki yang tidak halal, pemuda penjual bakpao
itu memilih jalan yang tidak biasa ditempuh insan abad ini. Karena bisa saja,
para calon pembeli memilih pergi karena malas mengejar gerobak bakpao itu
sampai ke depan gerbang, atau merasa aneh pada sikap sang penjual. Tapi
kacamata iman memang tidak memandang demikian. Ia tidak menggebu dengan
peluang rezeki yang tampak menyerbu. Sikap tenang, hati-hati dan tawadhu` mengawalnya
hingga ke pintu keselamatan.
***
Rabbana.. tentang rezeki, betapa banyak yang memilih
abai pada janji-janji demi uang belanja keluarga sehari-hari. Banyak yang menebus
jam kerja dengan waktu sholat hingga lima waktu tidak sempat tertunaikan.
Tentang
rezeki, betapa banyak yang mengaburkan batas halal lagi baik dalam
memperjuangkannya. Di zaman yang serba materialistis, orang-orang seperti pemuda
penjual bakpao itu adalah oase harapan bahwa di tubuh ummat masih bersemayam
kemurnian akidah yang terbalut dalam keteladanan sikap.
Rezeki,
pertemuan, perpisahan, kematian, begitu banyak hal yang sudah Allah tetapkan untuk
diri kita, semua tercatat rapi dalam kitabNya yang agung; lauhul mahfuzh. Allah
telah menjamin rezeki setiap makhlukNya. Tinggal kita yang menentukan, ingin
mengambilnya dengan cara yang bagaimana, apakah dengan jalan yang Allah suka,
atau Allah murka. Apakah rezeki itu mengundang keberkahan dan membuat kita
merasa tentram dengannya, atau membuat kita semakin tamak terhadap dunia.
Menjamin
rezeki yang diperjuangkan itu halal dan baik adalah kewajiban bagi setiap
muslim. Sumbernya dan jalan menggapainya tentu harus diperhatikan dengan
sebaik-baiknya. Karena dari uang hasil kerja keras kita itulah mungkin seluruh keluarga
akan membeli makanan sehari-hari, makanan itu pun menjelma darah dan daging.
Cukup kiranya pesan Rasulullah SAW tentang rezeki menjadi alasan yang pantas
membuat kita berhati-hati dalam urusan mencari rezeki.
“Tidak akan bergeser tapak kaki seorang
hamba pada hari Kiamat, sampai ia ditanya tentang empat perkara. (Yaitu):
tentang umurnya untuk apa ia habiskan, tentang jasadnya untuk apa ia gunakan,
tentang hartanya darimana ia mendapatkannya dan kemanakah ia meletakkannya, dan
tentang ilmunya, apakah yang telah ia amalkan”.
[HR At Tirmidzi dan Ad Darimi].
“Sesungguhnya tidak akan masuk surga daging yang tumbuh dari harta yang
haram. Neraka lebih pantas untuknya”.
[HR Ahmad dan Ad Darimi].
*13 Maret 2018. Peristiwa penuh makna, di pelataran masjid kampus Unimed.