Minggu, 25 Maret 2018 0 komentar

Ayah dan Sepasang Sayap Merpati



Seperti sayap merpati yang terbang di langit tinggi, kita memang telah kehilangan rasa takut sejak hari ini
Keberanianmu mengangkatku jauh hingga aku tidak peduli rasanya jatuh ke dasar bumi.
Kau mengajarkanku cara menghalau angin dan menyeimbangkan keyakinan
Menyediakan sorot mata paling tajam untuk penerbangan paling tidak biasa seumur hidup kita.

“Di anak tangga terakhir lapis-lapis langit,
ada mimpi kita yang sejati.” Katamu. Dan aku percaya.

Kau mengajarkanku menjadi perkasa
Meski kita bukan sepasang elang.
Kesetiaan adalah senjata paling mematikan untuk memukul mundur musuh-musuh kita.
Setia pada kebenaran, dan pertarungan sepanjang jalan hidup kita.
Itu mengagumkan.

Aku tidak pandai merangkum pesona laki-laki paling bertanggungjawab sepertimu, ayah.
Tak peduli pada bias matahari sore yang memantulkan kepahitan hidup kita di cakrawala adalah kepiawaianmu yang kuharap mengalir dalam darahku. Membuatku tidak ragu menembus langit-langit malam yang pekat. Asal aku punya tujuan.

Aku ingin terbang seperti terbangmu, hidup seperti hidupmu. Ayah.


*Sumber gambar: Google




Senin, 19 Maret 2018 0 komentar

Hati yang Merdeka



Orang-orang yang tidak merdeka, adakah kau melihatnya? Mungkin kita juga sedang tidak merdeka.
Orang-orang yang jatuh cinta, adakah kau melihatnya? Mungkin kita juga sedang jatuh cinta. Dan kita menjadi tidak merdeka karenanya.

Ingatlah bahwa di dalam jasad itu ada segumpal daging. Jika ia baik, maka baik pula seluruh jasad. Jika ia rusak, maka rusak pula seluruh jasad. Ketahuilah bahwa ia adalah hati.
(HR. Bukhari no. 52 dan Muslim no. 1599).


Katanya, hati itu ibarat cermin, ia memantulkan bayang kejujuran yang tidak bisa direkayasa. Jika sakit sedang diderita maka sakit itu memancar ke seluruh jasad. Lewat kedua mata, gerak tubuh, jari-jemari dan lewat tutur kata. Semua mewakili keadaan hati yang sesungguhnya. Hati jua menjadi jendral yang mengomandoi kebaikan dan keburukan yang diaminkan oleh seluruh anggota tubuh kita. Betapa sentralnya peran segumpal daging ini. Hingga untuk membuatnya selalu terjaga dibutuhkan usaha yang tidak sekedar saja.

Menjaga hati selalu bersih, telaga tazkiyatun nafs tentu harus sering kita ziarahi. Memeriksa tiap sisinya, adakah noda timbul dari segala aktivitas yang menuntut kita bersinggungan dengan berjuta manusia.

Kepada sahabat-sahabat terkasihku yang menjadi tidak merdeka sebab harapan-harapan, kita memang harus bersedia membuka gerbang pembatas yang menghalangi kebenaran mendekat. Betapa hatimu pun butuh beristirahat. Di balik tembok penghalang ini, ada kasih sejati yang siap mendekapmu hangat. Cinta Allah yang tiada bandingan.

Aku tahu saat hatimu jatuh hari itu, mendadak ia seperti lepas dari pegangan. Sulit dikendalikan. Terbang begitu tinggi dan tidak tergapai. Seperti lupa berpijak. Kemudian terikat oleh janji-janji yang tidak kunjung terbukti, atau pada harapan-harapanmu sendiri. Ia tersekat dari dunia realita dan bermain-main dengan bayangan. Terjajah.

Tidak mengapa, setiap insan tentu pernah mengalami hal yang sama. Kita semua pernah sama-sama menjadi tidak merdeka. Karena hati kita begitu lemah, bahkan untuk menguatkannya seorang kekasih Allah berdo`a kepada Rabbnya dengan penuh harap. Wahai Dzat yang mebolak-balikkan hati, teguhkanlah hatiku di atas agamaMu. Ya, terlebih lagi kita yang bukan siapa-siapa. Namun kelemahan itu tidak boleh menjelma pembenaran begitu saja. 

Seringkali kita diminta jujur pada diri sendiri. Tentu berat. Sekali lagi, tidak mengapa. Kita akan belajar di tiap anak tangganya. Kita akan melangkah naik hingga ujian bukan yang itu-itu saja. Tidakkah kita berbahagia? Ujian yang datang itu pertanda Allah ingin menaikkan kelas kita. Artinya semakin sulit, tingkatnya semakin tinggi dan kita bisa semakin dekat kepadaNya. Maka mari kita belajar jujur pada diri sendiri. Belajar jujur pada nurani. 

Ketika kita sedang ‘tidak merdeka’, niat suci pun bisa terjajah. Kebaikan-kebaikan yang dilakukan acapkali digelincirkan. Saat itu, hati biasanya meronta tapi sering kita abaikan. Ketika kita sedang ‘tidak merdeka’, kita menjelma sosok yang bukan kita. Ingin menjadi sempurna tanpa cela. Akhirnya kelabakan dan sia-sia. Saat kita sedang ‘tidak merdeka’...
Segumpal daging itu seketika menjadi pendusta. Bukan hanya pada orang lain, bahkan pada diri kita sendiri..

Tidak ada jalan untuk menyembuhkannya, kecuali kita bersedia jujur dan berbenah diri. Segumpal daging yang Allah beri itu adalah tanda Kemaha baikannya, begitu suci dan selalu ingin disucikan. Disana bertarung kebenaran dan keburukan. Saat hatimu jatuh hari itu, ada pertarungan dahsyat yang tidak biasa. Sesungguhnya iman kita sedang bertarung dengan hebat. Maka ia harus menang dan menjadi merdeka. Tidak terjajah oleh perasaan semu; entah itu benar cinta atau tipu daya yang palsu. 
 
Merdeka :)

Rabu, 14 Maret 2018 0 komentar

Sepotong Senja dan Bakpao Hangat


 Foto menara masjid Unimed. Diambil saat sedang duduk menunggu di samping gerobak bakpao.

“...Karena tadi izinnya ke satpam cuma mau ke masjid, kak. Bukan mau jualan.”
            Jawaban yang terdengar terbata itu mengalun di telinga. Diucapkan jujur dan apa adanya, namun menggetarkan. Kami speechless. Asap panci penghangat bakpao mengepul-ngepul ke udara. Bersaing dengan asap kendaraan yang antri di badan jalan. Aku dan kedua sahabatku saling lirik.
            “Ini kak, bakpaonya. dua coklat, satu ayam.”
            Setelah membayar sejumlah uang kami bergegas meninggalkan gerobak bakpao itu. Dengan kekaguman di hati masing-masing. Rabbana, manis sekali iman yang mengalir di nadi kehidupan. Mengairi setiap lekuknya. Tanpa jeda.
***

             Peristiwa Selasa sore itu memberi bekas di hati kecilku. Sepotong hikmah yang Allah titipkan lewat gerobak bakpao. Tanpa diduga. Berawal dari keinginan membeli jajan bersama kedua sahabat, langkah kami dituntun menuju pelataran parkir masjid kampus dan menemukan gerobak berwarna biru muda. Di etalasenya yang jernih tampak kue bakpao berbaris rapi. Aromanya wangi menambah rasa lapar kami. Tapi disana tidak kami temukan sosok penjual bakpao itu. Kami menelisik sekeliling. Nihil. Kami memutuskan untuk menunggu beberapa saat.
            “Lama nih bapaknya. Jajan yang lain aja, gimana?” tanya salah seorang sahabatku.
           Aroma bakpao yang terlanjur memikat indra penciuman membuatku meminta mereka bersedia menunggu lebih lama. Dengan seringai senyum mereka mengiyakan. Hingga salah satu dari mereka menemukan selembar uang seratus ribu rupiah tepat di bawah gerobak bakpao itu. Sekarang kami punya alasan lebih kuat untuk menunggu bapak penjual bakpao hingga kembali ke gerobaknya.
            Waktu bergulir, semburat keemasan mulai menghias langit yang tadinya berwarna biru muda. Hari merangkak senja. Bapak penjual bakpao tak kunjung muncul dalam pandangan. Satu jam berlalu dan kami mulai gelisah. Dimana keberadaan bapak penjual bakpao itu? Berjuta hipotesis menyembul-nyembul di kepala kami. Hingga kami bersepakat pada satu dugaan, bahwa bapak penual bakpao sedang mengikuti kajian di dalam masjid. Entah seperti apa wajah bapak penjual bakpao itu, kami sama sekali tidak tahu. Uang seratus ribu rupiah itu berhasil menahan kami untuk tidak beranjak sebelum berhasil memastikan apakah ia milik bapak penjual bakpao atau bukan.
            Pukul enam lebih beberapa menit, jama`ah bubar dan kami mencari-cari sosok bapak penjual bakpao yang telah lama dinanti. Beberapa pelanggan lain mulai ramai mengantri. Dari yang mulanya hanya kami bertiga, kini ada hampir sepuluhan orang. Alhamdulillah, rezeki melimpah.
            Tidak lama kemudian, sosok muda dengan kemeja berwarna abu-abu berjalan cepat ke arah gerobak. Langkahnya sigap. Tangannya meraih ujung gerobak dan dengan cekatan mendorongnya melaju ke depan. Kami terdiam heran. Beberapa pelanggan menjelaskan mereka ingin membeli dagangan pemuda itu, dan ia hanya mengatakan satu kalimat sambil terus mendorong gerobak bakpaonya dengan cepat.
            “Iya di depan aja, ya.” jawabnya singkat.
          “Jadi, itu yang jual bakpaonya? Ternyata bukan bapak-bapak, tapi masih muda.” ujarku berbisik pada kedua sahabatku.
            Kami bertiga saling menatap. Masih bingung dan bertanya-tanya. Kenapa sikap pemuda itu aneh sekali? Mungkin ia ingin ‘menjaga’ karena pembelinya saat itu mayoritas kaum perempuan, sehingga sikapnya demikian. Tapi, masih sulit diterima. Kami bergegas mengejar gerobak bakpao itu.
            Tepat di depan gerbang kampus, pemuda tadi memarkirkan gerobaknya. Di luar pekarangan kampus, beberpa meter dari masjid tempat tadinya gerobak itu berada. Banyak pembeli antri memesan. Kami menunggu di belakang. Ketika pembeli sudah mulai sepi, kami mendekat.
            “Bang, rasa coklat dua, ayam satu.”
            Pemuda itu mengangguk, lalu dengan terampil memanaskan bakpao pesanan kami. Aku dan kedua sahabatku masih saling lirik, kami ingin sekali menanyakan alasan sikap aneh penjual bakpao tersebut. Dengan nada yang diusahakan biasa, salah seorang sahabatku nekat bertanya.
            “Kenapa ga disana aja tadi, bang?”
“Karena tadi izinnya ke satpam cuma mau ke masjid, bukan mau jualan.”
Deggg...
Kami mengangguk pelan. Berupaya menangkap selaksa hikmah yang hangat mengudara, meraihnya, membungkusnya dalam kantong kebaikan dan membawanya pulang. Betapa dahsyat. Kemurnian akidah muslim sejati. Memang hal itu sangat sederhana, tapi sungguh ia adalah bukti dari sebuah komitmen. Pedagang bakpao yang berintegritas. Janjinya bukan kata yang terucap tanpa bukti. Janjinya terikat pada penjagaan malaikat di sisi, pada pengawasan Allah Yang Maha Memberi Rezeki. Amanah. Salah satu sifat yang menghiasi kehidupan para salafusshalih. Dan hari ini di hadapan kami, terhidang akhlaqul karimah yang indah mengkristal. Berkilau disinari pesona tawakkal.
Rasa takut akan pengingkaran janjinya pada pak satpam membuahkan rezeki yang tidak halal, pemuda penjual bakpao itu memilih jalan yang tidak biasa ditempuh insan abad ini. Karena bisa saja, para calon pembeli memilih pergi karena malas mengejar gerobak bakpao itu sampai ke depan gerbang, atau merasa aneh pada sikap sang penjual. Tapi kacamata iman memang tidak memandang demikian. Ia tidak menggebu dengan peluang rezeki yang tampak menyerbu. Sikap tenang, hati-hati dan tawadhu` mengawalnya hingga ke pintu keselamatan.
***
               
Rabbana.. tentang rezeki, betapa banyak yang memilih abai pada janji-janji demi uang belanja keluarga sehari-hari. Banyak yang menebus jam kerja dengan waktu sholat hingga lima waktu tidak sempat tertunaikan.
     Tentang rezeki, betapa banyak yang mengaburkan batas halal lagi baik dalam memperjuangkannya. Di zaman yang serba materialistis, orang-orang seperti pemuda penjual bakpao itu adalah oase harapan bahwa di tubuh ummat masih bersemayam kemurnian akidah yang terbalut dalam keteladanan sikap.
            Rezeki, pertemuan, perpisahan, kematian, begitu banyak hal yang sudah Allah tetapkan untuk diri kita, semua tercatat rapi dalam kitabNya yang agung; lauhul mahfuzh. Allah telah menjamin rezeki setiap makhlukNya. Tinggal kita yang menentukan, ingin mengambilnya dengan cara yang bagaimana, apakah dengan jalan yang Allah suka, atau Allah murka. Apakah rezeki itu mengundang keberkahan dan membuat kita merasa tentram dengannya, atau membuat kita semakin tamak terhadap dunia.
            Menjamin rezeki yang diperjuangkan itu halal dan baik adalah kewajiban bagi setiap muslim. Sumbernya dan jalan menggapainya tentu harus diperhatikan dengan sebaik-baiknya. Karena dari uang hasil kerja keras kita itulah mungkin seluruh keluarga akan membeli makanan sehari-hari, makanan itu pun menjelma darah dan daging. Cukup kiranya pesan Rasulullah SAW tentang rezeki menjadi alasan yang pantas membuat kita berhati-hati dalam urusan mencari rezeki. 

“Tidak akan bergeser tapak kaki seorang hamba pada hari Kiamat, sampai ia ditanya tentang empat perkara. (Yaitu): tentang umurnya untuk apa ia habiskan, tentang jasadnya untuk apa ia gunakan, tentang hartanya darimana ia mendapatkannya dan kemanakah ia meletakkannya, dan tentang ilmunya, apakah yang telah ia amalkan”.
[HR At Tirmidzi dan Ad Darimi].

“Sesungguhnya tidak akan masuk surga daging yang tumbuh dari harta yang haram. Neraka lebih pantas untuknya”.
[HR Ahmad dan Ad Darimi].


*13 Maret 2018. Peristiwa penuh makna, di pelataran masjid kampus Unimed.





 
;