Assalamu`alaikum warahmatullah wabarakatuh.
Apa kabar, sahabat?
Semoga sedang dalam keadaan baik dan
dimudahkan segala urusannya oleh Allah SWT, jika ada yang sakit segera
disembuhkan dan yang sehat ditambahkan rasa syukurnya. Aamiin ya Rabbal
`alamiin. Hari ini saya ingin berbagi cerita tentang pengalaman yang selalu
membuat saya tertegun, sejenak kembali menginsyafi betapa Allah Maha Pemurah
dan Maha Berkuasa atas segala sesuatu. Izinkan saya membagikan cerita ini kepada
semesta. Semoga tulisan kecil ini bisa membuat kita kembali mengingat kebesaran
Allah SWT.
Berawal dari pengajian di masjid agung Medan pada
minggu kedua bulan September 2017. Saya hadir disana
karena tugas dari sekolah tempat saya menjalani program PPLT. Tentu semuanya
atas skenario Allah. Dan pada hari itu bertepatan menjelang tahun baru hijriah.
Buya-sebutan untuk al ustadz- menyampaikan tentang amalan-amalan yang dianjurkan
pada bulan Muharram. Salah satunya membahagiakan anak yatim. Walaupun ada
pendapat yang menyampaikan bahwa mengkhususkan tanggal 10 Muharram sebagai “hari
raya”nya anak yatim termasuk bid`ah dikarenakan dalil yang tidak shahih, tapi bagi
saya pribadi tidak salah jika kita mengambil sisi positif dari kebaikan yang disampaikan.
Saat itu al ustadz dengan semangat menyerukan kepada
jama`ah untuk berlomba-lomba mencari anak yatim. Bukan sekedar untuk diundang,
diberi makan dan amplop sekedarnya. Tapi bagaimana kita bisa membahagiakan
mereka, memberi pengalaman yang tidak pernah mereka rasakan sebelumnya,
mengajak liburan misalnya. Di kota lain sudah sering dilakukan agenda rihlah
bareng ratusan anak yatim. Saya kira pasti sangat menyenangkan. Ibu-ibu jama`ahpun
sangat antusias menanggapi. “Tapi selain
liburan, ada yang lebih utama untuk dilakukan” sambung al ustadz. Apa itu?
menjamin pendidikan mereka hingga dewasa. Memberikan beasiswa untuk masa depan
mereka. Seketika hati saya bergetar, teringat dengan coretan kecil di buku agenda
beberapa bulan lalu. Allah... memberikan
masa depan untuk anak yatim piatu. Cita-cita itu sudah terpatri jelas di buku
dan di dalam hati. Semoga Allah melindungi saya-kita semua- dari sikap riya,
karena sungguh tidak ada maksud sama sekali untuk itu, saya hanya ingin
berbagi. Maka biarkan saya menyelesaikan cerita ini dan bacalah sampai habis.
Melihat antusias jama`ah, saya kian menunduk. Di
awal saya mengetahui bahwa jama`ah dzikir ini banyak diikuti oleh orang-orang “gedean”,
wajar jika mereka langsung semangat meng-iya-kan seruan ustadz. Tapi bagaimana
dengan saya? Seorang mahasiswi semester tujuh yang belum punya apa-apa. Bahkan
semuanya masih meminta kepada orangtua. Harus dengan apa saya menyantuni anak
yatim tahun ini? Seketika perasaan sedih bergumul di dalam hati. Mengingat
target foundation impian yang
dirancang untuk 15 tahun kedepan. Masih sangat panjang, saya bergumam. Itupun
masih impian. Dan siang itu sepanjang
perjalanan pulang banyak yang terlintas di dalam pikiran, tentang bagaimana
agar bisa membahagiakan anak yatim di tahun ini. Satu anak saja, ya
Rabb. Tapi tidak ada jawaban, saya tidak menemukan solusi apa-apa.
Waktu berlalu, dan hari-hari berjalan seperti biasa.
Saya pun sudah terlupa dengan masalah santunan itu. Dua minggu kemudian saya
mengikuti sebuah agenda dakwah. Siang itu di bawah naungan pohon-pohon durian
yang belum berbuah kami duduk bersama. Agenda berjalan normal dan semua terasa
menyenangkan. Hingga jam ishoma (istirahat-sholat-makan) tiba. Seorang anak
laki-laki duduk di dekat kami. Mengamati kegiatan yang kami lakukan saat itu.
Ia tidak berbicara sedikitpun, hanya melihat-lihat. Pakaiannya lusuh. Sesekali
ia berpindah tempat dan saat ini dekat sekali dengan tempat saya duduk.
Teman-teman akhwat yang lain menyiapkan nasi beserta
lauk-pauknya. Diselingi senyum dan tawa yang renyah, kami bersiap makan siang
bersama. Anak lelaki itu mengamati.
“Adek udah makan?”
Ia hanya mengangguk.
“Bener?”
“Iya kak, udah.” jawabnya.
“Sini.. makan lagi ya?”
Ia lama menatap, lalu beringsut mendekat. “Iya.”
ucapnya.
Seporsi nasi, mi goreng, sambal kentang dan kerupuk tersaji
di hadapannya.
“Ayo, dimakan..”
Ia meraihnya dan makan bersama kami. Sejujurnya saat
itu perasaan saya tidak karuan. Jika tidak malu, saya ingin sekali menangis.
Sambil makan kami bercerita lebih jauh. Hingga satu kalimat keluar darinya.
“Aku anak yatim, kak. Mamakku udah gak ada. Aku
tinggal sama bapak..”
Deg..
Allahu akbar, allahu akbar, allahu akbar. Saya kembali takjub. Gerimis itu kini jatuh lebat di dalam hati.
Menyirami rasa syukur dan membuatnya tumbuh subur. Sungguh, tak ada yang mustahil bagi
Allah. Begitu sederhana dan memesona, cara Allah menjawab permintaan saya. Keinginan untuk membahagiakan seorang anak yatim, walaupun
hanya dengan makan siang bersama dan makanannya pun bukan dari saya seorang,
tapi melihat anak lelaki itu kenyang dan senang rasanya sungguh tak
terungkapkan.
Saat itu, dihadapannya saya kembali berdo`a. Kelak harus
ada lebih banyak anak yatim yang merasa bahagia. Bagus pakaiannya, tidak kelaparan,
tidak kesusahan dan terjamin masa depannya. Kita harus bisa melakukannya.
Kini untuk kesekian kalinya, saya kembali jatuh cinta.Tidak ada yang menandingi kemaha agunganNya. Ada saja cara Allah
memberi kejutan untuk kita, membahagiakan kita, membuat kita terpana. Sore itu
bersama perginya anak laki-laki yang belum saya ketahui namanya itu, sebuah
kerinduan kian membiru. Untuk kekasih Allah, Muhammad SAW.
Rasulullah, dahulu juga terlahir sebagai yatim. Maka
mencintai anak-anak yatim adalah salah satu wujud cinta kita kepadanya. Jika
saja kita memahami makna perkataannya,
“Kedudukanku dan orang yang mengasuh anak
yatim di surga seperti kedua jari ini atau bagaikan ini dan ini.”( H.R Bukhari)
tentu kita akan berlomba-lomba menjemput yatim ke
dalam kerumah. Tidak akan ada lagi anak-anak yang terlantar, kelaparan dan
tidak bisa sekolah. Pengalaman amazing
yang saya rasakan ini semoga bisa menjadi semangat dan motivasi. Tidak ada yang
mustahil bagi Allah. Semua ada jalannya. Jangan pernah berputus asa. Wa
tawakkal `alaAllah. Afwan minkum.
Wassalamu`alaikum warahmatullah wabarakatuh.