Minggu, 16 April 2017

Berkaca Pada Sejarah





Kala cahaya Islam mulai memendar di bumi Mekah Al Mukarromah, tiada yang pernah mengira jika akhirnya cahaya itu bisa menyelimuti dua per tiga belahan dunia.Hari yang menyejarah dimulai ketika itu. Saat matahari merangkak naik, membiaskan sinar diantara bongkah-bongkah batu bukit tempat Siti Hajar pernah memasrahkan diri di hadapan Tuhannya. Kini sejarah mengenai ketundukan seorang hamba akan terulang, namun dengan jalan cerita yang sudah pasti berbeda.

        Pagi itu Shafa membisu. Hembusan angin perlahan membisikkan kehadiran sosok yang akhlaknya paling terpuji di seantero kota Mekah. Atas perintah TuhanNya ia bergerak.

        “Dan berilah peringatan kepada keluargamu yang terdekat.“



        Perlahan Rasulullah menaiki bukit itu. Menapakkan kakinya tanpa ragu, sekalipun baginda tahu kaum Quraisy tidak akan mudah menerima apapun yang akan beliau katakan di atas bukit sana.

        “Wahai Bani Fihr, Bani Ady, keluarga keturunan Quraisy…”Seru baginda dengan lantang. Maka berkumpulah semua orang, bahkan jika ada yang tidak bisa hadir, mereka mengirimkan perwakilan untuk mendengarkan apa yang akan Rasulullah katakan. Abu Lahab turut hadir disana kala itu.

          “Bagaimana jika ku katakan kepadamu, bahwa di balik bukit sana ada pasukan berkuda yang akan menyerangmu. Apakah kamu semua akan mempercayainya?“



          “Ya, kami percaya.“ Jawab mereka serentak. Sebab belum pernah mereka temui seseorang yang lebih jujur perkatannya dari baginda.



          “Sesungguhnya aku adalah pembawa peringatan dari sisi Allah sebelum datangnya azab yang besar….“ Sambung Rasulullah.



        Setelah mendengar ucapan Rasulullah SAW, Abu Lahab langsung  berteriak ke arah baginda. Ia sangat marah dan tidak suka dengan perkataan beliau.

        “Binasalah engkau hari ini, apakah untuk alasan ini kau mengumpulkan kami semua disini?“ ucapnya pongah.

        Sungguh betapapun pahit perkataan dari Abu Lahab, Rasulullah tak gentar. Allah SWT langsung menurunkan firmanNya ketika itu.

“Binasalah kedua tangan Abu Lahab, dan benar-benar binasalah ia.“

(Q.S Al Lahab : 1).


***


        Jika saja ketika itu Rasulullah SAW tidak memulai tahap dakwah yang kedua yaitu dakwah secara terang-terangan dan mensyi`arkan Islam secara terbuka, tak akan pernah tersentuh hati-hati yang awalnya diselimuti kekafiran hingga akhirnya berjalan menuju hidayah.

        Andai Rasulullah SAW menyimpan manisnya iman dan islam itu hanya untuk beliau dan terus merahasiakannya tanpa berani menyeru kepada keluarga dan masyarakat, mungkin tak akan pernah kita temukan sejarah-sejarah heroik penaklukan yang menghadiahkan kejayaan untuk agama Islam yang mulia. Namun kita tahu, Rasulullah SAW tak mungkin sealpa itu. Baginda sangat berbeda dengan kita. Jauh berbeda.

        Yang telah kitabaca dan resapi tadi adalah sepenggal sejarah awal mula Rasulullah SAW menyerukan Islam secara terbuka. Meski setelah itu baginda dan kaum muslimin dihadang dengan berbagai macam derita dan penyiksaan dari kaum kafir Qurays.


        Serasa bagai disayat sembilu saat Fatimah binti Muhammad berlari-lari menuju ka`bah, kemudian dengan bercucuran air mata ia membersihkan isi perut unta yang telah memenuhi punggung serta leher ayahandanya yang tengah bersujud dihadapan RabbNya.  Juga Bilal bin Rabbah yang kisahnya begitu abadi. Mungkin kelak padang pasir itu akan bersaksi betapa dahsyatnya siksaan yang dilakukan Abu Jahal pada Bilal. Bilal yang kulitnya melepuh dibawah tindihan batu raksasa namun masih teguh berkata, “Ahad.. ahad.. ahad.” Pun pada Yassir, Sumayyah beserta Ammar bin Yassir r.a siksaan Abu Jahal tak kalah pedihnya. Lalu disusul dengan piagam perjanjian dari kaum musyrikin yang disepakati di halaman Bani Kinanah tepat berada di lembah Al Makhsab, dimana perjanjian ini sangat menyiksa kaum muslimin bertahun-tahun lamanya.


        Namun ada hikmah yang begitu dahsyat dibalik segala cobaan yang bertubi-tubi mendera kaum muslimin. Tahapan dakwah secara terbuka ini juga menjadi titik tolak meluasnya gema ajaran Islam di bumi Mekah. Aroma hadirnya semakin semerbak di sudut-sudut pasar, mengisi perbincangan penduduk seisi kota.

        Dari sejarah nan pahit ini para penerus misi risalah di masa depanpun bisa belajar, bahwa tidak ada jaminan kebahagiaan terlebih lagi keberlimpahan harta bagi para penyeru kebenaran. Tidak ada. Sahabat karib mereka adalah totalitas, pengorbanan dan luka demi mengatakan yang haq.


        Kita pasti akan tertunduk malu hari ini jika membandingkan betapa beratnya cobaan yang dihadapi kaum muslimin saat itu untuk sekedar menyatakan keimanan dan mensyi`arkan ajaran Islam di tengah masyarakat. Sementara kita saat ini terkadang masih enggan untuk mempersembahkan sikap totalitas dalam hal syi`ar Islam. Dalam hal membumikan kalam-kalam langit. Kita masih sering lupa untuk memikirkan serta menerapkan strategi terbaik agar seluruh civitas akademika bisa mendengarnya terlebih menerima inti kebenarannya.


“Maka sebarkanlah  apa yang telah diperintahkan kepadamu dan berpalinglah  dari kaum musyrikin “

(Q.S Al-Hijr: 94)       

          Sebarkanlah. Jelas sekali kata itu terpatri dalam Al Qur`anul kariim. Betapapun berat dan resiko yang dihadapi dipastikan tidak kecil, seperti apa yang telah digoreskan sejarah, sosok  sekaliber Rasulullah SAW saja mengalami berbagai kepahitan pasca keberanianya mendakwahkan Islam secara terbuka. Lantas apakah banyaknya kesulitan itu berhasil memukul mundur baginda? Tentu tidak.

Tugasseorang muslim adalah menyebarkan nilai-nilai Islam itu dimanapun berada. Dimana saja. Bukan hanya di area aman apalagi zona nyaman, masjid kampus misalnya. Tempat paling kondusif untuk para aktivis dakwah bertemu dan saling menebar salam. Berjabat tangan, berpelukan dan saling berangkul mesra. Bukan pula hanya di majelis-majelis. Taman surga dunia yang dikellingi para malaikat Allah yang mulia. Bisa dipastikan yang hadir disana adalah mereka yang sadar akan pentingnya ilmu agama.

          Lalu bagaimana dengan orang-orang di luar sana? Yang masjid terasa begitu jauh darinya. Yang majelis ilmu menjadi sangat asing untuknya. Mereka yang tidak suka dengan kesan didakwahi, digurui dan diatur dengan pesan ini dan itu. Bukankah mereka juga berhak merasakan manisnya kebaikan? Bahkan Abu Lahab yang sangat membenci dakwah Rasulullah SAW pun tak luput dari seruan baginda di bukit Shafa.

          Ada seni menakjubkan yang akan menjawab tantangan demi tantangan itu. Untuk mereka yang begitu rindu pada cahaya, namun silau memandang nyala purnama. Kita `kan bawakan sinar-sinar hangat rembulan untuk menerangi malamnya. Dengan seni, dengan penyesuaian pada masing-masing objek dakwah yang kita temui.

          Agar tombak dakwah kampus ini menjadi tepat sasaran, menyentuh seluruh kalangan dan bisa diterima. Ini bukan perkara yang mudah. Maka mari berkaca pada sejarah. Satu kata kunci utama yang mengantarkan dakwah ini menyebar ke seantero dunia : Syi`ar.

0 komentar:

Posting Komentar

 
;