Bismillahirrahmanirrahiim.
Dari
pengamatan kecil-kecilan -dengan objek beberapa muslimah yang saya
kenal- ada beberapa alasan yang buat sebagian orang mengurungkan niatnya
untuk menulis dan nge-share hasil pemikiran mereka ke berbagai media.
Yang pertama takut menimbulkan ria, ujub dan penyakit hati lainnya, dua
belum bisa mengamalkan, tiga khawatir mengundang simpati lawan jenis
mereka. Masya Allah, betapa istimewanya orang-orang beriman yang tiap
langkahnya begitu hati-hati dan waspada.
Tapi... apa jadinya ya
kalau aja dahulu para penulis hebat kaya Mbak Helvy Tiana Rosa, Asma
Nadia, Oki Setiana Dewi dll juga mengurungkan niat menulisnya karena
berfikir demikian? Hmm bisa dipastikan karya fenomenal sekelas "Ketika
Mas Gagah Pergi", " Assalamu'alaikum Beijing", "Melukis Pelangi" dan
buanyak lagi yang lainnya ga akan pernah ada
Padahal ada berjuta insan di luar sana yang mendapat secercah hidayah lewat karya-karya tersebut.
Menulis adalah bekerja untuk keabadian, kata Pramoedya Ananta Toer.
Keabadian? Ya. Sebab saat seorang penulis telah wafat, namun karyanya
yang baik dan bermanfaat masih dibaca khalayak, maka pahala jariyah
mengalir deras dari sana.
Rasulullah SAW bersabda: "Kalimat yang baik adalah sedekah" (H.R Bukhari dan Muslim).
Bahkan lebih jauh lagi, tingkat peradaban suatu bangsa dapat diukur
dengan berapa banyak orang yang membaca dan menulis di negeri tersebut
(Helvy Tiana Rosa). Allah SWT juga mengabadikan keagungan tulisan dan
ilmu pengetahuan di dalam Al Qur'an.
"Nun. Demi pena dan apa yang mereka tuliskan." (Q.S Al Qalam: 1).
Tidakkah kita merasa iri dengan orang-orang yang produktif menulis, sahabat?
Ketika kita belum bisa banyak bersedekah dengan harta, ternyata tulisan
yang baik bisa menjadi pilihan alternatifnya. Dengan menulis kita juga
turut berperan memajukan peradaban bangsa.
Kita tidak pernah tahu, siapa saja yang mungkin tercerahkan dengan karya sederhana kita. Itu juga dakwah, bukan?
Untuk berbagai kekhawatiran yang saya sebutkan di awal, mengapa kita
tidak memilih berhusnuzhan pada semesta? Berprasangka bahwa semuanya
akan baik-baik saja. Ria, ujub dan penyakit hati lainnya bukankah kita
yang mengendalikan. Ia adalah buah dari kondisi keimanan. Maka penulis
yang baik akan menulis dengan iman dan rasa rendah hati dihadapan
RabbNya. Luruskan niat, lillahi ta'ala. Masalah belum bisa mengamalkan?
Setiap kita sedang dalam proses belajar. Sedikit yang kita tahu, maka
sampaikanlah. Sampaikan walau hanya satu ayat
Khawatir mengundang simpati lawan jenis apalagi si do'i? Hmm itu sih
urusan dia sama Allah. Innamal a'malu binniyat, kan? Niat kita nulis
adalah untuk mencari ridha Allah SWT bukan mencari perhatian si dia.
Warnai sosial media dengan karya sederhanamu, sahabat. Tulisan, quotes
dalam desain, apapun yang baik dan bisa menjadi inspirasi untuk umat.
Syiarkan Diin yang kita cintai ini dengan sekreatif mungkin.
Karena selama masih ada yang menulis, maka masih ada yang membaca,
selama masih ada yang membaca, maka masih ada yang belajar. Selama masih
ada yang belajar maka masih ada harapan untuk bangsa kita di masa
depan. Itulah proses edukasi, pendidikan, tarbiyah yang dikemas dengan
apik agar tetap bisa diterima seiring zaman yang berkembang dinamis.
Syi'ar!
Terkhusus untuk sahabat seperjuangan yang saya cintai
karenaNya, ada pesan dari Rio Hafandi dalam buku Dakwah Kreatip Ala LDK
halaman 209, "Aktivis dakwah harusnya produktif dalam menulis."
Semoga Allah membimbing lisan dan tulisan kita agar senantiasa bermanfaat dan mencerahkan.
Sahabat muslimah, insya Allah tulisan kita tak akan menjadi pintu
fitnah jika kita mengiringi produktifitas dengan terus memohon
perlindungan dariNya.
Ingatlah bahwa muslimah itu harus berani,
bijaksana dan produktif. Tak ragu berpendapat namun anggun terjaga.
Kelak anak-anakmu akan bangga karena ibunya adalah penulis yang cerdas
bersuara.
Jangan takut, menulislah! 😊
Langkat, Januari 2017. Ditengah dinamika kabar kenaikan harga cabai,
bbm, pajak dan pencabutan subsidi listrik 900 VA. Kita masih punya
harapan.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar