Rabu, 07 Maret 2018

Mengerti Cinta


         

            Di dunia ini ada hal yang istimewa. Tidak banyak. Karena jika banyak, artinya ia tidak istimewa. Istimewa itu sulit ditemukan. Sulit untuk diterjemahkan. Aku suka berjalan kaki dan mengamati keadaan di sekeliling. Akan ada saja sapaan-sapaan kecil dari Sang Pencipta yang membuatku tertegun malu atau terharu penuh rasa syukur. Saat jalanan begitu terik, disana ada matahari yang memberi sinarnya tanpa pamrih. Pun saat hujan turun, ada tetes-tetes keberkahan yang menenangkan. Keduanya adalah nikmat. Keduanya adalah cinta. Salah satu hal yang istimewa. 

            Cinta hadir dengan sederhana. Tidak berlebihan dan tidak pula terlalu biasa. Cinta yang baik adalah buah dari rasa syukur. Belajarlah jatuh cinta dengan cara demikian. Mencintai apa saja, mulailah dengan bersyukur karena Allah memberikannya, maka kau akan mencintainya tanpa kepura-puraan. 

            Mudah untuk cinta pada apa yang kita suka; kehidupan dunia yang menyenangkan, harta yang berkecukupan, pasangan hidup yang diidamkan serta anak-anak yang menentramkan. Tapi tidak mudah untuk cinta pada apa yang Allah berikan. Maka cinta kita harus istimewa, siap tumbuh pada tangkai-tangkai kesyukuran, pada dahan-dahan keikhlasan. 

            Kita harus belajar memaknai cinta dengan demikian. Sebab syukur adalah buah dari keimanan yang menyala. Dengannya, cinta bersemi bagai pijar-pijar purnama yang hangat dan bercahaya. Tidak silau dalam pandangan dan tidak terik membakar jiwa. 

            Cinta pada Allah, bukankah ia tumbuh dari syukur yang tidak terhingga? Menjadi satu jiwa yang hidup atas izinNya, jika bukan karenaNya maka binasalah diri yang nista, yang dahulu berasal dari setetes air yang hina. 

            Cinta pada Kekasih Allah, Rasulullah Muhammad SAW. Rasa syukur bersemi indah membayangkan hari ketika baginda menyampaikan kalam-kalam ilahiah, menumpas kemusyrikan di lembah Mekah yang membara, menerangi Madinah, menggemakan Islam ke seluruh penjuru dunia. Dan disinilah kita, meneguk manisnya risalah meski jarak membentang dari timur ke barat. 

            Cinta pada dua insan paling mulia, Ayah dan Ibu kita. Harusnya rasa syukur jualah yang menuntun cinta itu tumbuh menjulang, menembus batas kepayahan dan rasa suka atau tidak suka. Tak peduli Allah menitipkan keberlimpahan materi atau susahnya mencari sesuap nasi, jika syukur itu mengakar di jiwa, cinta pada kedua orangtua tidak akan pernah sedetikpun padam. Membandingkan kehidupan kita dengan hidup orang lain, membandingkan pekerjaan ayah kita dengan ayah orang lain, membandingkan kebahagiaan kita dengan kebehagiaan orang lain, berhati-hatilah, itu pertanda cinta pada ayah dan ibu kita sedang diuji kesejatiannya. Bukankah cinta adalah penerimaan?

            Dan cinta pada sesama hambaNya yang beriman; teman, sahabat karib, atau saudara. Ada keunikan yang Allah berikan. Cinta menara cahaya, cinta yang dicemburui oleh para Nabi dan Syuhada.


“Di sekitar Arasy akan ada menara cahaya, penghuninya berpakaian cahaya, mereka bukan Nabi bukan pula para Syuhada namun para Nabi dan Syuhada iri kepada mereka.” Siapakah gerangan mereka? “Merekalah yang saling mencintai karena Allah, saling bersahabat karena Allah dan saling mengunjungi karena Allah.” 
 (H.R Abu Dawud)


            Cinta yang sejati, tidak akan berkurang karena situasi. Dalam keberlimpahan nikmat ia menebal dan dalam kesusahan yang panjang ia memintal kuat. Cinta yang istimewa memang tidak banyak. Hendaknya kita punya cinta yang sederhana, yang tumbuh karena rasa syukur dan tidak pudar meski nikmat-nikmat itu berkurang adanya.


***

           

           
           
           
           
           
           
           
           

0 komentar:

Posting Komentar

 
;