Di dunia ini ada hal yang istimewa. Tidak
banyak. Karena jika banyak, artinya ia tidak istimewa. Istimewa itu sulit
ditemukan. Sulit untuk diterjemahkan. Aku suka berjalan kaki dan mengamati keadaan
di sekeliling. Akan ada saja sapaan-sapaan kecil dari Sang Pencipta yang
membuatku tertegun malu atau terharu penuh rasa syukur. Saat jalanan begitu terik,
disana ada matahari yang memberi sinarnya tanpa pamrih. Pun saat hujan turun,
ada tetes-tetes keberkahan yang menenangkan. Keduanya adalah nikmat. Keduanya
adalah cinta. Salah satu hal yang istimewa.
Cinta hadir dengan sederhana. Tidak
berlebihan dan tidak pula terlalu biasa. Cinta yang baik adalah buah dari rasa
syukur. Belajarlah jatuh cinta dengan cara demikian. Mencintai apa saja,
mulailah dengan bersyukur karena Allah memberikannya, maka kau akan
mencintainya tanpa kepura-puraan.
Mudah untuk cinta pada apa yang kita
suka; kehidupan dunia yang menyenangkan, harta yang berkecukupan, pasangan
hidup yang diidamkan serta anak-anak yang menentramkan. Tapi tidak mudah untuk
cinta pada apa yang Allah berikan. Maka cinta kita harus istimewa, siap tumbuh
pada tangkai-tangkai kesyukuran, pada dahan-dahan keikhlasan.
Kita harus belajar memaknai cinta
dengan demikian. Sebab syukur adalah buah dari keimanan yang menyala. Dengannya,
cinta bersemi bagai pijar-pijar purnama yang hangat dan bercahaya. Tidak silau
dalam pandangan dan tidak terik membakar jiwa.
Cinta pada Allah, bukankah ia tumbuh
dari syukur yang tidak terhingga? Menjadi satu jiwa yang hidup atas izinNya,
jika bukan karenaNya maka binasalah diri yang nista, yang dahulu berasal dari
setetes air yang hina.
Cinta pada Kekasih Allah, Rasulullah
Muhammad SAW. Rasa syukur bersemi indah membayangkan hari ketika baginda
menyampaikan kalam-kalam ilahiah, menumpas kemusyrikan di lembah Mekah yang
membara, menerangi Madinah, menggemakan Islam ke seluruh penjuru dunia. Dan
disinilah kita, meneguk manisnya risalah meski jarak membentang dari timur ke
barat.
Cinta pada dua insan paling mulia,
Ayah dan Ibu kita. Harusnya rasa syukur jualah yang menuntun cinta itu tumbuh
menjulang, menembus batas kepayahan dan rasa suka atau tidak suka. Tak peduli Allah
menitipkan keberlimpahan materi atau susahnya mencari sesuap nasi, jika syukur
itu mengakar di jiwa, cinta pada kedua orangtua tidak akan pernah sedetikpun padam.
Membandingkan kehidupan kita dengan hidup orang lain, membandingkan pekerjaan
ayah kita dengan ayah orang lain, membandingkan kebahagiaan kita dengan
kebehagiaan orang lain, berhati-hatilah, itu pertanda cinta pada ayah dan ibu
kita sedang diuji kesejatiannya. Bukankah cinta adalah penerimaan?
Dan cinta pada sesama hambaNya yang
beriman; teman, sahabat karib, atau saudara. Ada keunikan yang Allah berikan.
Cinta menara cahaya, cinta yang dicemburui oleh para Nabi dan Syuhada.
“Di sekitar Arasy akan ada menara
cahaya, penghuninya berpakaian cahaya, mereka bukan Nabi bukan pula para Syuhada
namun para Nabi dan Syuhada iri kepada mereka.” Siapakah gerangan mereka? “Merekalah yang saling mencintai karena Allah, saling bersahabat
karena Allah dan saling mengunjungi karena Allah.”
(H.R Abu Dawud)
Cinta yang sejati, tidak akan berkurang
karena situasi. Dalam keberlimpahan nikmat ia menebal dan dalam kesusahan yang
panjang ia memintal kuat. Cinta yang istimewa memang tidak banyak. Hendaknya kita punya cinta yang sederhana,
yang tumbuh karena rasa syukur dan tidak pudar meski nikmat-nikmat itu berkurang adanya.
***
0 komentar:
Posting Komentar