Minggu, 07 November 2021 0 komentar

    Menjadi Penghafal Al-Qur`an Bersama Runah Al-Qur`an Daarut Tarbiyah

 Bukan kita yang memilih takdir, tapi takirlah yang memilih kita. Begitu indah ungkapan salah seorang kesatria Islam, Salahuddin Al Ayyubi. Takdir adalah rahasia besar yang manusia harus menjalaninya dengan keridhona penuh kepada Rabb semesta alam. Rabb pencipta manusia, penulis jalan kehidupan setiap makhluknya dengan sifat Al `alim yang sempurna. Takdir pula yang mempertemukanku dengan jalan cinta panjang nan penuh perjuangan ini. Di sebuah Rumah Qur`an yang jauh di seberang pulau dari rumah kediamanku, aku berdiri menyambut takdir itu. Rumah Al-Qur`an Daarut Tarbiyah, tempat kisah perjuanganku dimulai. Daarut Tarbiyah, tempat harapan dan kepasrahan penuh pada Allah SWT bertemu, tempat cita-cita mampu membaca Al-Qur`an dengan baik dan benar beranak tangga menuju cita-cita surga yang mulia. Di Daarut Tarbiyah ku belajar dan berjuang menjadi seorang hamalatul Qur`an. 

    Dua cemburu yang halal bertahta di hati seorang mukmin; cemburu pada ahlul Qur`an dan ahlu shadaqah. Rasa cemburu itu yang sepantasnya kita tumbuhkan agar semangat kembali membara untuk belajar. Khususnya mempelajari Alqur`anul kariim agar kita juga mampu terus membaca, menghafal dan mengamalkannya siang dan malam. Rasa cemburu itu pula yang nyatanya mampu membuat tangan dan kaki ini tergerak untuk mencari informasi tentang tempat belajar Al Qur`an selepas tamat pendidikan di Universitas. Begitu fakirnya diri ini tentang ilmu Al Qur`an, begitu buruk bacaan terlebih hafalan Al Qur`an yang dimiliki. Dan begituah takdir Allah mempertemukanku dengan Daarut Tarbiyah. Selepas rangkaian seleksi berkas, wawancara dan beberapa tes, kumantapkan hati ini melangkah menuntut ilmu. 

    Masih teringat debar jantung saat pesawat yang kutumpangi mulai terbang memeluk angkasa. Bayangan akan pahit manisnya belajar mulai terbayang di pelupuk mata. Apakah ini akan mudah? Aku pun tidak mengetahuinya. Tapi seperti sebuah ungkapan, "Sekali layar terkembang, surut kita berpantang." Setelah azzam yang dikuatkan maka selanjutnya adalah bertawakkal kepada Allah SWT. Hari demi hari pun kulewati dengan cerita yang warna-warni. Di Daarut Tarbiyah kita akan ditempa menjadi jundi Allah yang kuat jasmani, mental dan ruhani. Bukan hanya belajar memperbaiki bacaan Al Qur`an, kita pun dididik memperbaiki kualitas dan kuantitas ibadah wajib dan sunnah. 

    Siang hari di Daarut Tarbiyah adalah waktu kesungguhan menuntut ilmu. Tahsinul Qur`an yang bagiku tidak mudah. Mulai dari belajar melafadzkan huruf demi huruf dengan benar, belajar hukum-hukum tajwid hingga ayatul gharib, seluruhnya baik teori maupun praktik diajarkan oleh Ustadzah dengan penuh kesabaran. Bahkan lafadz ta`awudz dan basmallahku masih salah berkali-kali. Tapi Ustadzah tidak menyerah dan terus mengajarkan ilmunya dengan senyuman ramah. 

    Sebagaimana Rasulullah membentuk generasi terbaik umat ini, seperti itu pula rasanya di Daarut Tarbiyah kita hendak dibina. Rasulullah mendisiplinkan para sahabat dengan sholat berjama`ah, meneguhkan jiwa mereka dengan sholat malam dan tilawah Al-Qur`an, mengkonsolidasi kekuatan mereka dengan menyampaikan visi-misi surgawi yang abadi. Mutaba`ah yaumiyah di Daarut Tarbiyah tidak jauh dari kewajiban-kewajiban serupa. Tentu berat dan tidak mudah, terlebih bagi diri yang lemah ini agar mampu istiqomah. Tapi begitulah Tarbiyah, ia menempuh apa yang telah ditempuh oleh Rasulullah dan generasi terdahulu. Maka generasi akhir zaman yang ditempa ini tentu juga harus mampu disiplin, teguh jiwa dan bersatu dalam cita-cita yang mulia. 

    Roda perjuangan terus berputar, seiring waktu berjalan dan generasi demi generasi silih berganti menuntut ilmu di Rumah Al-Qur`an Daarut Tarbiyah. Setahun, dua tahun, tiga tahun dan seterusnya, masing-masing memiliki garis waktu yang telah Allah takdirkan. Menyelesaikan setoran 30 juz Al-Qur`an adalah impian yang terus berhembus setiap detik di rumah ini. Ia mengudara selama nafas santriwan dan santriwati masih berhembus. Impian itu terus berdetak seperti jantung yang mengalirkan darah perjuangan. Selamanya takdir Allah adalah rahasia, maka wajib bagi seorang penuntut ilmu untuk berikhtiar keras dan melangitkan do`a-do`a, hingga impian itu sampai pada pintunya. 

    Begitulah impianku menjadi penghafal Qur`an bersama Rumah Al-Qur`an Daarut Tarbiyah. Begitu dahsyat takdir Allah menggariskan ruang dan waktu bagi setiap hambaNya. Sementara jalan ini masih begitu panjang, selamanya seorang mukmin harus menjadi pembelajar. Membaca, menghafal dan mengamalkan Al-Qur`an. Semoga keberkahan dan kemuliaan tercurah limpah kepada Rumah Al-Qur`an Daarut Tarbiyah. 


Sabtu, 13 Oktober 2018 0 komentar

Biru

Bintang-bintang seolah jatuh dari langit Frankfurt. Kemilau cahayanya berhamburan di seluruh penjuru kota. Mengerling-ngerling manja, sedikit angkuh menebar pesona yang sulit ditolak oleh siapa saja. Cahaya itu hinggap di gedung-gedung pencakar langit dan atap-atap rumah, ingin bersaing dengan bintang sungguhan nun jauh di atas sana. Pesona metropolitan. Dari kejauhan tampak menara Commerzbank tegap menantang cakrawala. Frankfurt tidak tidur malam ini.
            Aku penasaran, berapa jumlah euro yang berputar per detik di kota pusat finansial terbesar Eropa ini, jumlah gerbong yang beroperasi di Hauptbahnhof, atau jumlah maskapai Lufthansa yang terbang di langit dunia. Dan tiba-tiba aku teringat kota Jakarta. Monas pernah tampak agung sekali di mataku. Monas begitu tinggi dan gagah. Lalu detik ini, dari jendela hotel Frankfurt Marriott aku memahami pepatah “di atas langit masih ada langit.” Dan, aku? Ah, begitu kecilnya diriku dari tempat ini.
            “Sudah hampir satu jam kau memandanginya.”
          Gadis berbadan jangkung itu tersenyum, lalu beringsut perlahan dari atas kasur dan meraih secangkir kopi di meja panjang yang terletak di depan tempat tidur.
            “Indah sekali, Al.”
         Alya ikut mengalihkan pandangannya ke jendela besar berbentuk persegi panjang. Kini ia berdiri tepat di depanku. Merasakan denyut nadi kota Frankfurt di luar sana, tersenyum simpul membalas kerlingan lampu-lampu kota.
            “Kau benar.” Ucapnya sebelum menyeruput secangkir kopi.
          Sungguh seperti keajaiban. Benarkah aku ada disini, berdiri bersama seorang penulis hebat bernama Alya Samudra dan kami bersama memandangi langit kota Frankfurt yang megah.
“Menurutmu, aku harus menghabiskan kopi ini, Nay?”
            “Tidak. Kau harus segera tidur.”
            Alya tertawa. “Baiklah. Kita memang tidak boleh terlambat besok pagi.”
         Kutarik tirai jendela berwarna krem dan mengucapkan selamat malam pada Frankfurt. Pemeran, buku, Jerman, penulis, semua kata itu menari-nari dalam pandanganku. Seperti parade mimpi yang bersinar, harum dan membuatku susah tidur.
            “Oh ya, Nay, kau masih punya janji padaku.”
            Aku menekuk alis tanda sedang mengingat-ingat.
“Janji?”
“Kotamu. Aku sungguh penasaran dengan pelabuhan Belawan yang kau ceritakan dalam novel Biru. Karya bestseller yang luar biasa. Aku beruntung sekali bisa sekamar dengan penulis hebat sepertimu.”
“Kau berlebihan, Al. Novel Biru tidak lebih baik dari cerpen Sepasang Matahari. Kau selalu menulis karya yang indah.” Jelasku dengan nada bersemangat. Lalu tawa kami pecah berderai-derai.
“Aku akan mengajakmu ke Belawan. Insya Allah.”
Senyum Alya mengembang, tidak lama kemudian ia menarik selimut dan tertidur pulas. Belawan. Mendengar nama tempat itu hatiku pun berdegub tak karuan. Karena disanalah aku lahir dan tumbuh, membesarkan impian-impianku. Sejak kecil aku sering berteriak bahwa aku ingin jadi penulis! Maka, esok menjadi hari yang sangat mendebarkan untukku. Frankfurter Buchmesse-atau kata lainnya Frankfurt Book Fair, sebuah festival buku terbesar di dunia. Aku akan berdiri disana, bersama Alya dan delegasi lainnya dari Indonesia menjadi tamu kehormatan!
Dinding kamar hotel yang dilapisi wallpaper bernuansa klasik semakin tampak mempesona di mataku. Mungkin karena hatikupun menjadi semakin bahagia. Maha Besar Allah. Dan air mataku jatuh satu demi satu. Aku berjanji tidak akan pernah takut lagi untuk bermimpi. Selamanya.
***

            Kampung Nelayan, 2012 silam.
Air laut memukul-mukul kayu penyangga jalanan utama kampung kami. Menimbulkan bunyi kecipak air yang khas, diselingi derit kayu-kayu tua yang masih gagah. Telapak kaki anak-anak Kampung Nelayan terdengar gemuruh. Langkah kaki mereka cepat dan lincah, berlari-lari kecil. Beberapa perahu tampak baru ditambat. Sebagian masih di perjalanan menuju lokasi yang menjadi pusat perhatian warga beberapa minggu terakhir. Bukan hanya warga Kampung Nelayan, tapi juga warga pusat kota Medan.
Angin berhembus menggoyangkan tali jemuran kaum ibu yang berarak-arak. Beberapa burung terbang rendah. Aroma laut menyeruak.
“Kau tak mau datang, Nay?”
Suara berat itu milik seorang laki-laki istimewa berbadan tegap yang duduk di ambang pintu rumah. Kulitnya legam dibakar matahari. Ia mengenakan kaos singlet dan celana sebatas lutut. Tangannya memegang piring penuh berisi nasi dan lauk pauk. Tanpa sendok.
“Mau, Yah.” Jawabku sambil membawa segelas air.
“Yasudah, pergilah. Kau menunggu apa?” Ayah memandangku.
“Zulfan, Yah.”
“Zul.. Zulfan?” Kemudian terdengar suara ayah terbatuk-batuk. “Kau makin dekat saja sama anak Pak Kepling itu, Nay.”
Aku tidak menjawab. Hanya tersenyum mendengar Ayah bertanya aneh seperti itu. Angin kembali bertiup. Dari kejauhan terlihat warga berduyun-duyun menuju bangunan baru yang menyita perhatian itu. Hari ini pasti sangat istimewa.
“Nay, Zulfan sudah menunggumu di depan.” Suara Ayah terdengar dari dapur. Aku bergegas keluar dari kamar mandi.
            Kupoles sedikit wajahku dengan bedak tabur, lalu dengan hati-hati kutata jilbab biru mudaku agar tampak rapi.
            “Naya pergi, Yah. Assalamu`alaikum.”
            Ayah mengangguk, “Wa`alaikumussalam.” Jawabnya.
         Zulfan ikut berpamitan lalu kami bergegas jalan kaki. Dari kejauhan tampak perahu-perahu lainnya mulai merapat.
            “Bukankah ini akan hebat, Nay?”
            “Apa?” aku menoleh.
       “Perpustakaan itu. Pasti akan ada banyak buku bagus disana.” Mata Zulfan berbinar saat mengucapkan kata buku bagus.
            “Kuharap begitu, Zul.”
            “Kau pasti butuh banyak buku.”
            “Kau juga. Kita harus banyak membaca.”
            “Tapi kau ingin jadi penulis. Seorang penulis haruslah banyak membaca, Nay.”
            Aku tersenyum. “Kau ingat cita-citaku itu?” kulepas pandangan ke arah laut di sisi kanan.
            “Kau mengulangnya setiap tahun, di hari ulang tahunmu. Yang terakhir adalah ulang tahunmu ke enam belas, artinya sudah sepuluh kali kau rapalkan sejak kita berteman kelas satu SD. Mau tidak mau, aku jadi ingat.”
            “Siapp. Siap Pak polisi!”Kuayunkan tangan menuju dahi, memberi tanda hormat sambil meledeknya. Zulfan bercita-cita jadi polisi.
            “Kau akan jadi penulis hebat.”
             Aku mengehentikan langkah. Menghela nafas sejenak, lalu mengaminkannya.
           Kami hampir tiba. Bangunan baru itu tampak bagus. Tidak besar, tapi cukup luas untuk tempat anak-anak belajar membaca. Catnya berwarna hijau diselingi warna coklat pekat di beberapa bagian. Orang-orang sudah ramai berkumpul. Disana juga hadir beberapa pejabat penting, salah satunya ayah Zulfan, Pak Kepala Lingkungan. Di bagian depan bangunan ada kayu yang dipasang horizontal, di atasnya tertulis jelas “Perpustakaan Terapung Kampung Nelayan”. Indah sekali. 
            “Aku tidak sabar ingin membacanya, Zul.” Ucapku sedikit berbisik.
            Zul tertawa cekikikan, “Aku juga.”
            Acara peresmian Perpustakaan Terapung kampung kami itu berlangsung sederhana dan penuh hikmat. Banyak sekali do`a yang kubisikkan dalam hati. Juga terimakasih yang tidak akan habis untuk para pendiri perpustakaan ini. Kini aku bisa lebih dekat dengan mimpiku. Menjadi seorang penulis!
            “Besok sepulang sekolah ku tunggu kau disini, Nay.”
           Aku mengangguk. Darahku berdesir-desir memikirkan buku apa yang akan kupinjam esok hari.
***

            Dua puluh menit, aku masih terpekur di hadapan rak berukuran cukup besar yang terletak di sebelah timur ruangan ini. Buku-buku disusun vertikal. Pemandangan yang mengagumkan. Tempat ini seperti oase harapan yang memancar-mancar di tengah gurun kemiskinan kampung kami.
            “Nay, Nay! Cepat, lihatlah ini!” Masih dengan celana panjang abu-abunya, Zulfan tiba-tiba muncul seperti hantu.
            “Kau suka sekali membuat orang terkejut, Zul!” Ucapku sedikit kesal. “Apa itu?”
            “Baca sendiri!” Bola matanya menyala-nyala. Aih, kerasukan hantu apa temanku ini.
           Kuraih poster yang diletakkan Zul di atas meja. Lomba menulis novel tingkat nasional. Naskah terpilih akan langsung diterbitkan. Bulu kudukku berdiri. Kudongakkan wajah memandang Zul yang masih berdiri di sisi tempat dudukku.
            “Kau harus menang, Nay!” Mata itu yakin sekali. Terlalu yakin padaku.
            “Tapi..”
            “Tidak ada tapi..”
            “Naskahnya harus dikirim lewat email, Zul. Aku tak punya laptop.”
            “Usah kau risaukan hal sepele macam itu, Nay. Ada aku!”
        Seperti hujan yang tiba-tiba turun membawa momentum berharga, aku tidak pernah ingin melewatkannya. Ini kesempatan emas. Aku harus berjuang. Jika tidak ada laptop, aku masih bisa menuliskannya di buku, lalu naskah itu akan kuketik ulang di warnet Bang Sabili. Perkara sepele. Benar kata Zulfan.
            “Oke. Aku ikut!”
            “Nah, gitu dong dari tadi.” Zulfan tersenyum.
            “Aku tidak akan merepotkanmu. Janji.”
            “Ah, kau ini.”
           Kutatap poster itu lekat, kata ..akan diterbitkan menjadi titik fokus yang tidak tergoyahkan. Itu tujuanku. Jika aku bisa memenangkan lomba ini, aku akan jad novelis sungguhan, menjadi penulis. Ah, indahnya!
        Maka hari-hari berikutnya aku tidak pernah jauh dari rutinitas menyenangkan itu. Menulis berlembar-lembar naskah di buku tulis hingga lenganku pegal bukan main. Jari-jariku tidak jarang terasa kram dan kakiku kesemutan. Tapi aku tetap suka. Sebenarnya ini bukan pengalaman pertama, sebelumnya sudah bertumpuk buku tulis berisi tulisan-tulisan sederhana yang kuletakkan di sudut kamar. Tapi entah bagaimana, buku tulis kali ini punya getar yang memacu jantungku berdetak lebih cepat. Mungkin pengaruh kata ...akan diterbitkan yang ada di poster lomba itu.
         Awalnya cukup sulit menentukan latar cerita yang ingin kutulis. Ini sayembara tingkat nasional, tidak main-main. Ucapku pada diri sendiri. Jika di Indonesia tercatat ada 21.886.622 penduduk berusia lima belas hingga sembian belas tahun dan nol koma satu persennya mengikuti sayembara ini, artinya pesaingku paling tidak berjumlah dua puluh satu ribu delapan ratus sekian orang. Dan berapa banyak yang menulis naskahnya di atas buku tulis? Mungkin hanya aku. Ah, tidak juga. Aku belum mempertimbangkan jumlah penduduk miskin dari 21.886.662 itu. Miskin. Kata yang selalu disematkan pada Kampung Nelayan yang hidupnya bergantung pada deburan air laut. kalau tangguh, itu kata lain lagi.
      Kubayangkan pesaingku itu adalah anak orang gedongan. Saat masuk masa liburan pasti ia berpelesir ke Eropa, aih latar tempat yang ditulisnya bisa jadi Praha, kawasan Champs Elyses, katedral bergaya gotik di Cologne, atau Edinburgh yang bak negeri Harry Potter. Batinku. Semua tempat itu kulihat dari dalam bilik warnet Bang Sabili. Dan bagi gadis dalam tempurung sepertiku, yang tidak pernah melangkah jauh kecuali ke pusat kota Medan, latar tempat apa yang bisa menyaingi karya hebat mereka nantinya. Tapi aku tiba-tiba terkesiap saat memandang ke arah jendela. Langit biru, air laut yang tidak terlampau biru dan rumah-rumah kayu terbingkai dalam satu pigura kehidupanku. Kepahitan yang kadang terasa manis. Ah, apa peduliku pada Praha, kawasan Champs Elyses, katedral bergaya gotik di Cologne, atau Edinburgh yang bak negeri Harry Potter. Kampung Nelayan Belawan ini akan jadi latar sempurna bagi novelku.
           “Nay, sudah hampir maghrib. Mandilah.” Suara ibu memecah lamunan.
           Bersusah payah kurilekskan persendian yang masih terasa ngilu, lalu kutapakkan kaki ke lantai kayu dan kuraih handuk. Novelku sudah jalan lima bab saat kutinggalkan ia ke kamar mandi sore ini.
***

            Perpustakaan Terapung Kampung Nelayan pagi ini ramai kedatangan tamu; para relawan dari sebuah universitas negeri. Penampilan mereka menarik dan terlihat punya banyak ilmu pengetahuan. Anak-anak sudah duduk rapi menyambut kedatangan mereka, siap menyaksikan segala hal ajaib yang akan dilakukan oleh kakak-kakak dari kota itu.
            “Nay, bagaimana novelmu?” Seseorang berbisik sambil menarik-narik ujung jilbabku.
         Aku menoleh, siapa lagi kalau bukan Zulfan. “Menuju  bab terakhir.. akan selesai tiga hari lagi.”
            “Waktumu tinggal dua minggu, cepat selesaikan.”
            “Sudah kukatakan tiga hari lagi.”
            “Oke.” Ucapnya sambil mengacungkan jempol.
          Aku kembali berusaha fokus mendengarkan dongeng yang dibacakan seorang kakak di hadapan kami. Ada dua boneka tangan yang lucu-lucu sebagai media penyampai yang menarik. Anak-anak senang bukan main. Aku juga ikut menikmatinya, sedangkan Zulfan lebih suka cari kesempatan berkenalan dengan beberapa orang pemuda berkacamata. Kutebak ia pasti bertanya tentang kampus mereka.
           Waktu seperti hembusan angin laut yang menerbangkan aroma matahari. Ia berlalu begitu saja. Para relawan harus bergegas pulang. Mereka berjanji akan sering berkunjung ke perpustakaan terapung kampung kami. Hati kecilku bergumam, aku ingin bisa seperti mereka. Menjadi orang yang bermanfaat.
            Malam harinya, semangatku meletup-letup. Novelku akan selesai malam ini. Tidak butuh tiga hari lagi. Di kamar sederhana dengan tirai jendela yang sederhana pula, aku menghabisi lembaran buku tulis dengan goresan tinta yang tidak main-main. Lagipula besok hari Minggu. Malam ini kuhabiskan dengan secangkir teh, roti kering dan mimpi-mimpi yang menyesaki setiap sudut kamar tidurku.
***

            “Kau serius, Nay? Kau bilang tiga hari lagi?” Bola mata Zulfan seperti mau keluar dari sarangnya.
            “Ya, malam minggu aku nyaris tidak tidur.”
            “Bukan main. Ckckck.” Kali ini ia berkacak pinggang. “Yasudah, besok sepulang sekolah kau datang ke rumahku. Kita ketik ulang naskah di buku tulismu itu.”
           “Terimakasih banyak, Zul.” Jujur saat itu aku merasa terharu. Zulfan pasti melihat mataku yang berkaca-kaca. “Judulnya Biru. Bagaimana menurutmu?” Tanyaku kemudian.
            “Bagus.”
            Kami terus melangkahkan kaki menyusuri jalanan kampung yang terbuat dari papan. Sandal yang bergesekan dengan permukaan jalan menghasilkan bunyi yang khas. Di beberapa titik terdengar papan-papan mulai berdecit saat diinjak.
            “Harusnya aku minta maaf karena tidak bisa meminjamkan laptopku kepadamu beberapa minggu ini, Nay.” Zulfan memandangku sesaat, “Ayahku memakainya.”
            “Kau ini. Aku sudah banyak berhutang budi padamu. Tak perlu bicara begitu. Ayahmu juga sudah seperti ayahku.”
            Percakapan itu terhenti di depan rumahku. Saat Ayah sedang memperbaiki jalanya yang rusak. Kami mendekat. Aku selalu suka cara Zul memberi hormat pada Ayah. Mereka mengobrol beberapa saat dan aku hanya diam mendengarkan.
***

            Matahari Senin tersenyum dan laut masih tenang. Perahu motor segera dilepas dari tambat. Seperti biasa aku bersama anak-anak lainnya harus menyebrang dengan perahu untuk pergi ke sekolah. Inilah transportasi utama kampung kami. Deru mesin yang memecah lautan adalah irama pagi yang merdu, lalu butir-butir air berlompatan diterjang perahu yang tidak terlampau gagah, tapi berwibawa.
            Perahu sudah melaju cukup jauh. Semua baik-baik saja sampai salah seorang penumpang berteriak bahwa air masuk ke dalam perahu. Semua teman-teman ikut berteriak. Aku gemetaran. Wak Man pemilik perahu terkejut dan seketika panik meminta kami bahu membahu membuang air kembali ke laut. Perahu bocor. Air memancar deras, hitungan menit perahu yang cukup besar ini hampir penuh terisi air. Kudekap erat tas ranselku. Di dalam sana, ada naskah novel yang amat kucintai. Teman-temanku muai menangis. Perahu oleng ke kanan, sementara air terus meninggi. Perahu kami akan tenggelam.
         Air yang sudah memenuhi hampir seluruh perahu membuat seluruh tubuhku semakin gemetaran. Tanpa bisa kutahan, aku menangis dan berteriak. Anak-anak lainnya pun ikut menangis. Tas ranselku kian basah diterjang air laut, namun tidak kubiarkan lepas dari genggaman. Perahu semakin miring dan tidak berdaya dihempas air yang masuk dengan debit yang tidak sedikit. Wak Man memandang wajah kami satu demi satu. Hatinya ngilu. Air matanya ikut jatuh.
                “Ya Allah, ya Allah..” Teriakan itu memekik-mekik. Timpal menimpal ke udara.
            Kurasakan tubuhku dihempas lautan. Aku berenang sekuat tenaga, meraih apa yang bisa membantuku tetap bernapas. Sementara tangan kiriku masih mendekap ransel. Dan di depan kedua mataku, perahu kesayangan kami lenyap ditelan air. Teman-temanku berjuang untuk tetap hidup. Tubuhku melemah, jantungku berkejaran dan napasku terasa tinggal satu-satu. Tiba-tiba gelap!
***

             Frankfurt am Main, menjelang pukul tujuh pagi.
“Kau berjuang melawan maut, Nay.”
Alya menatap kedua mataku. Beberapa saat, tidak berkedip sama sekali.
“Lalu, lalu bagaimana dengan naskahmu dan kau bisa tetap hidup. Dan.. lomba itu?” Kini tangannya memegangi lenganku erat. Sorot matanya meminta penyelesaian dari cerita yang sudah kumulai sejak tadi. 
“Atas izin Allah aku selamat, Al. Ada perahu yang datang membantu. Kami dievakuasi, setelah itu aku harus dirawat cukup lama.” Kuraih tangan Alya yang sedang memegangi lengan kananku. Mataku terasa hangat jika mengingat peristiwa itu.
            “Allah sungguh Maha Kuasa, Nay.” Alya tersenyum lembut. “Dan.. tentang novelmu?”
            Tak bisa kutahan senyumku untuk tidak terbit saat Alya sampai pada pertanyaan itu.
            “Zulfan. Ia yang membantuku.”
            Alya menekuk alis tanda meminta penjelasan.
            “Saat itu, naskahku hampir lenyap. Seluruhnya basah dan tulisannya rusak di beberapa bagian. Zulfan berusaha keras menjemurnya hingga bisa terbaca kembali..”
            “Dan mengetik semuanya untukmu?” Kini Alya tertawa.
            “Juga mengirimnya ke panitia lomba.” Timpalku kemudian. “Aku nyaris tidak percaya naskah novel Biru itu terpilih. Tiga bulan kemudian ia terbit dan terpajang di toko buku terbesar di pusat kota. Semua itu seperti mimpi, Al”
           “Dan, tujuh tahun kemudian diterjemahkan ke dalam dua bahasa asing? Itu hebat sekali!” Alya memelukku.
            Frankfurt menjadi semakin cerah. Di luar jendela, daun-daun berkejaran saat jatuh ke bumi. Musim gugur di bulan Oktober. Betapa jingga semua itu; Impian, perjuangan, dan  kebaikan orang-orang yang menyayangi kita. Keputusan untuk tidak menyerah pada keadaan, jangan pernah mengabaikan hal itu, Nay. Ucapku pada diri sendiri. Dan daun mapel pun tersenyum pagi ini. Pada pesonanya aku takjub berkali-kali. Sedang pada Kebesaran Tuhan aku takluk dan meniada, menjadi kecil tidak berarti. Segala Puji bagiMu, wahai Tuhanku, seru sekalian alam.
            “Sudah, kita harus berangkat sekarang.” Ucapku seraya menyeka air mata. Kami bergegas. Frankfurt Book Fair tidak akan memaklumi tamu yang datang terlambat hari ini.
            
          Selesai


Minggu, 25 Maret 2018 0 komentar

Ayah dan Sepasang Sayap Merpati



Seperti sayap merpati yang terbang di langit tinggi, kita memang telah kehilangan rasa takut sejak hari ini
Keberanianmu mengangkatku jauh hingga aku tidak peduli rasanya jatuh ke dasar bumi.
Kau mengajarkanku cara menghalau angin dan menyeimbangkan keyakinan
Menyediakan sorot mata paling tajam untuk penerbangan paling tidak biasa seumur hidup kita.

“Di anak tangga terakhir lapis-lapis langit,
ada mimpi kita yang sejati.” Katamu. Dan aku percaya.

Kau mengajarkanku menjadi perkasa
Meski kita bukan sepasang elang.
Kesetiaan adalah senjata paling mematikan untuk memukul mundur musuh-musuh kita.
Setia pada kebenaran, dan pertarungan sepanjang jalan hidup kita.
Itu mengagumkan.

Aku tidak pandai merangkum pesona laki-laki paling bertanggungjawab sepertimu, ayah.
Tak peduli pada bias matahari sore yang memantulkan kepahitan hidup kita di cakrawala adalah kepiawaianmu yang kuharap mengalir dalam darahku. Membuatku tidak ragu menembus langit-langit malam yang pekat. Asal aku punya tujuan.

Aku ingin terbang seperti terbangmu, hidup seperti hidupmu. Ayah.


*Sumber gambar: Google




Senin, 19 Maret 2018 0 komentar

Hati yang Merdeka



Orang-orang yang tidak merdeka, adakah kau melihatnya? Mungkin kita juga sedang tidak merdeka.
Orang-orang yang jatuh cinta, adakah kau melihatnya? Mungkin kita juga sedang jatuh cinta. Dan kita menjadi tidak merdeka karenanya.

Ingatlah bahwa di dalam jasad itu ada segumpal daging. Jika ia baik, maka baik pula seluruh jasad. Jika ia rusak, maka rusak pula seluruh jasad. Ketahuilah bahwa ia adalah hati.
(HR. Bukhari no. 52 dan Muslim no. 1599).


Katanya, hati itu ibarat cermin, ia memantulkan bayang kejujuran yang tidak bisa direkayasa. Jika sakit sedang diderita maka sakit itu memancar ke seluruh jasad. Lewat kedua mata, gerak tubuh, jari-jemari dan lewat tutur kata. Semua mewakili keadaan hati yang sesungguhnya. Hati jua menjadi jendral yang mengomandoi kebaikan dan keburukan yang diaminkan oleh seluruh anggota tubuh kita. Betapa sentralnya peran segumpal daging ini. Hingga untuk membuatnya selalu terjaga dibutuhkan usaha yang tidak sekedar saja.

Menjaga hati selalu bersih, telaga tazkiyatun nafs tentu harus sering kita ziarahi. Memeriksa tiap sisinya, adakah noda timbul dari segala aktivitas yang menuntut kita bersinggungan dengan berjuta manusia.

Kepada sahabat-sahabat terkasihku yang menjadi tidak merdeka sebab harapan-harapan, kita memang harus bersedia membuka gerbang pembatas yang menghalangi kebenaran mendekat. Betapa hatimu pun butuh beristirahat. Di balik tembok penghalang ini, ada kasih sejati yang siap mendekapmu hangat. Cinta Allah yang tiada bandingan.

Aku tahu saat hatimu jatuh hari itu, mendadak ia seperti lepas dari pegangan. Sulit dikendalikan. Terbang begitu tinggi dan tidak tergapai. Seperti lupa berpijak. Kemudian terikat oleh janji-janji yang tidak kunjung terbukti, atau pada harapan-harapanmu sendiri. Ia tersekat dari dunia realita dan bermain-main dengan bayangan. Terjajah.

Tidak mengapa, setiap insan tentu pernah mengalami hal yang sama. Kita semua pernah sama-sama menjadi tidak merdeka. Karena hati kita begitu lemah, bahkan untuk menguatkannya seorang kekasih Allah berdo`a kepada Rabbnya dengan penuh harap. Wahai Dzat yang mebolak-balikkan hati, teguhkanlah hatiku di atas agamaMu. Ya, terlebih lagi kita yang bukan siapa-siapa. Namun kelemahan itu tidak boleh menjelma pembenaran begitu saja. 

Seringkali kita diminta jujur pada diri sendiri. Tentu berat. Sekali lagi, tidak mengapa. Kita akan belajar di tiap anak tangganya. Kita akan melangkah naik hingga ujian bukan yang itu-itu saja. Tidakkah kita berbahagia? Ujian yang datang itu pertanda Allah ingin menaikkan kelas kita. Artinya semakin sulit, tingkatnya semakin tinggi dan kita bisa semakin dekat kepadaNya. Maka mari kita belajar jujur pada diri sendiri. Belajar jujur pada nurani. 

Ketika kita sedang ‘tidak merdeka’, niat suci pun bisa terjajah. Kebaikan-kebaikan yang dilakukan acapkali digelincirkan. Saat itu, hati biasanya meronta tapi sering kita abaikan. Ketika kita sedang ‘tidak merdeka’, kita menjelma sosok yang bukan kita. Ingin menjadi sempurna tanpa cela. Akhirnya kelabakan dan sia-sia. Saat kita sedang ‘tidak merdeka’...
Segumpal daging itu seketika menjadi pendusta. Bukan hanya pada orang lain, bahkan pada diri kita sendiri..

Tidak ada jalan untuk menyembuhkannya, kecuali kita bersedia jujur dan berbenah diri. Segumpal daging yang Allah beri itu adalah tanda Kemaha baikannya, begitu suci dan selalu ingin disucikan. Disana bertarung kebenaran dan keburukan. Saat hatimu jatuh hari itu, ada pertarungan dahsyat yang tidak biasa. Sesungguhnya iman kita sedang bertarung dengan hebat. Maka ia harus menang dan menjadi merdeka. Tidak terjajah oleh perasaan semu; entah itu benar cinta atau tipu daya yang palsu. 
 
Merdeka :)

 
;