Bintang-bintang
seolah jatuh dari langit Frankfurt. Kemilau cahayanya berhamburan di seluruh
penjuru kota. Mengerling-ngerling manja, sedikit angkuh menebar pesona yang
sulit ditolak oleh siapa saja. Cahaya itu hinggap di gedung-gedung pencakar
langit dan atap-atap rumah, ingin bersaing dengan bintang sungguhan nun jauh di
atas sana. Pesona metropolitan. Dari kejauhan tampak menara Commerzbank tegap
menantang cakrawala. Frankfurt tidak tidur malam ini.
Aku penasaran, berapa jumlah euro
yang berputar per detik di kota pusat finansial terbesar Eropa ini, jumlah
gerbong yang beroperasi di Hauptbahnhof, atau jumlah maskapai Lufthansa yang
terbang di langit dunia. Dan tiba-tiba aku teringat kota Jakarta. Monas pernah
tampak agung sekali di mataku. Monas begitu tinggi dan gagah. Lalu detik ini,
dari jendela hotel Frankfurt Marriott aku memahami pepatah “di atas langit
masih ada langit.” Dan, aku? Ah, begitu kecilnya diriku dari tempat ini.
“Sudah hampir satu jam kau
memandanginya.”
Gadis berbadan jangkung itu tersenyum,
lalu beringsut perlahan dari atas kasur dan meraih secangkir kopi di meja
panjang yang terletak di depan tempat tidur.
“Indah sekali, Al.”
Alya ikut mengalihkan pandangannya
ke jendela besar berbentuk persegi panjang. Kini ia berdiri tepat di depanku.
Merasakan denyut nadi kota Frankfurt di luar sana, tersenyum simpul membalas
kerlingan lampu-lampu kota.
“Kau benar.” Ucapnya sebelum
menyeruput secangkir kopi.
Sungguh seperti keajaiban. Benarkah
aku ada disini, berdiri bersama seorang penulis hebat bernama Alya Samudra dan
kami bersama memandangi langit kota Frankfurt yang megah.
“Menurutmu,
aku harus menghabiskan kopi ini, Nay?”
“Tidak. Kau harus segera tidur.”
Alya tertawa. “Baiklah. Kita memang
tidak boleh terlambat besok pagi.”
Kutarik tirai jendela berwarna krem
dan mengucapkan selamat malam pada Frankfurt. Pemeran, buku, Jerman, penulis,
semua kata itu menari-nari dalam pandanganku. Seperti parade mimpi yang
bersinar, harum dan membuatku susah tidur.
“Oh ya, Nay, kau masih punya janji
padaku.”
Aku menekuk alis tanda sedang
mengingat-ingat.
“Janji?”
“Kotamu.
Aku sungguh penasaran dengan pelabuhan Belawan yang kau ceritakan dalam novel
Biru. Karya bestseller yang luar
biasa. Aku beruntung sekali bisa sekamar dengan penulis hebat sepertimu.”
“Kau
berlebihan, Al. Novel Biru tidak lebih baik dari cerpen Sepasang Matahari. Kau
selalu menulis karya yang indah.” Jelasku dengan nada bersemangat. Lalu tawa
kami pecah berderai-derai.
“Aku
akan mengajakmu ke Belawan. Insya Allah.”
Senyum
Alya mengembang, tidak lama kemudian ia menarik selimut dan tertidur pulas.
Belawan. Mendengar nama tempat itu hatiku pun berdegub tak karuan. Karena
disanalah aku lahir dan tumbuh, membesarkan impian-impianku. Sejak kecil aku
sering berteriak bahwa aku ingin jadi penulis! Maka, esok menjadi hari yang
sangat mendebarkan untukku. Frankfurter Buchmesse-atau kata lainnya Frankfurt Book Fair, sebuah festival buku terbesar di dunia. Aku
akan berdiri disana, bersama Alya dan delegasi lainnya dari Indonesia menjadi
tamu kehormatan!
Dinding
kamar hotel yang dilapisi wallpaper
bernuansa klasik semakin tampak mempesona di mataku. Mungkin karena hatikupun
menjadi semakin bahagia. Maha Besar
Allah. Dan air mataku jatuh satu demi satu. Aku berjanji tidak akan pernah
takut lagi untuk bermimpi. Selamanya.
***
Kampung Nelayan, 2012 silam.
Air
laut memukul-mukul kayu penyangga jalanan utama kampung kami. Menimbulkan bunyi
kecipak air yang khas, diselingi derit kayu-kayu tua yang masih gagah. Telapak
kaki anak-anak Kampung Nelayan terdengar gemuruh. Langkah kaki mereka cepat dan
lincah, berlari-lari kecil. Beberapa perahu tampak baru ditambat. Sebagian
masih di perjalanan menuju lokasi yang menjadi pusat perhatian warga beberapa
minggu terakhir. Bukan hanya warga Kampung Nelayan, tapi juga warga pusat kota
Medan.
Angin
berhembus menggoyangkan tali jemuran kaum ibu yang berarak-arak. Beberapa
burung terbang rendah. Aroma laut menyeruak.
“Kau
tak mau datang, Nay?”
Suara
berat itu milik seorang laki-laki istimewa berbadan tegap yang duduk di ambang
pintu rumah. Kulitnya legam dibakar matahari. Ia mengenakan kaos singlet dan celana sebatas lutut.
Tangannya memegang piring penuh berisi nasi dan lauk pauk. Tanpa sendok.
“Mau,
Yah.” Jawabku sambil membawa segelas air.
“Yasudah,
pergilah. Kau menunggu apa?” Ayah memandangku.
“Zulfan,
Yah.”
“Zul..
Zulfan?” Kemudian terdengar suara ayah terbatuk-batuk. “Kau makin dekat saja
sama anak Pak Kepling itu, Nay.”
Aku
tidak menjawab. Hanya tersenyum mendengar Ayah bertanya aneh seperti itu. Angin
kembali bertiup. Dari kejauhan terlihat warga berduyun-duyun menuju bangunan
baru yang menyita perhatian itu. Hari ini pasti sangat istimewa.
“Nay,
Zulfan sudah menunggumu di depan.” Suara Ayah terdengar dari dapur. Aku
bergegas keluar dari kamar mandi.
Kupoles sedikit wajahku dengan bedak
tabur, lalu dengan hati-hati kutata jilbab biru mudaku agar tampak rapi.
“Naya pergi, Yah. Assalamu`alaikum.”
Ayah mengangguk,
“Wa`alaikumussalam.” Jawabnya.
Zulfan ikut berpamitan lalu kami
bergegas jalan kaki. Dari kejauhan tampak perahu-perahu lainnya mulai merapat.
“Bukankah ini akan hebat, Nay?”
“Apa?” aku menoleh.
“Perpustakaan itu. Pasti akan ada
banyak buku bagus disana.” Mata Zulfan berbinar saat mengucapkan kata buku
bagus.
“Kuharap begitu, Zul.”
“Kau pasti butuh banyak buku.”
“Kau juga. Kita harus banyak
membaca.”
“Tapi kau ingin jadi penulis.
Seorang penulis haruslah banyak membaca, Nay.”
Aku tersenyum. “Kau ingat
cita-citaku itu?” kulepas pandangan ke arah laut di sisi kanan.
“Kau mengulangnya setiap tahun, di
hari ulang tahunmu. Yang terakhir adalah ulang tahunmu ke enam belas, artinya
sudah sepuluh kali kau rapalkan sejak kita berteman kelas satu SD. Mau tidak
mau, aku jadi ingat.”
“Siapp. Siap Pak polisi!”Kuayunkan
tangan menuju dahi, memberi tanda hormat sambil meledeknya. Zulfan bercita-cita
jadi polisi.
“Kau akan jadi penulis hebat.”
Aku mengehentikan langkah. Menghela
nafas sejenak, lalu mengaminkannya.
Kami hampir tiba. Bangunan baru itu
tampak bagus. Tidak besar, tapi cukup luas untuk tempat anak-anak belajar
membaca. Catnya berwarna hijau diselingi warna coklat pekat di beberapa bagian.
Orang-orang sudah ramai berkumpul. Disana juga hadir beberapa pejabat penting,
salah satunya ayah Zulfan, Pak Kepala Lingkungan. Di bagian depan bangunan ada
kayu yang dipasang horizontal, di atasnya tertulis jelas “Perpustakaan Terapung
Kampung Nelayan”. Indah sekali.
“Aku tidak sabar ingin membacanya,
Zul.” Ucapku sedikit berbisik.
Zul tertawa cekikikan, “Aku juga.”
Acara peresmian Perpustakaan
Terapung kampung kami itu berlangsung sederhana dan penuh hikmat. Banyak sekali
do`a yang kubisikkan dalam hati. Juga terimakasih yang tidak akan habis untuk
para pendiri perpustakaan ini. Kini aku bisa lebih dekat dengan mimpiku.
Menjadi seorang penulis!
“Besok sepulang sekolah ku tunggu
kau disini, Nay.”
Aku mengangguk. Darahku
berdesir-desir memikirkan buku apa yang akan kupinjam esok hari.
***
Dua puluh menit, aku masih terpekur
di hadapan rak berukuran cukup besar yang terletak di sebelah timur ruangan
ini. Buku-buku disusun vertikal. Pemandangan yang mengagumkan. Tempat ini
seperti oase harapan yang memancar-mancar di tengah gurun kemiskinan kampung
kami.
“Nay, Nay! Cepat, lihatlah ini!”
Masih dengan celana panjang abu-abunya, Zulfan tiba-tiba muncul seperti hantu.
“Kau suka sekali membuat orang
terkejut, Zul!” Ucapku sedikit kesal. “Apa itu?”
“Baca sendiri!” Bola matanya
menyala-nyala. Aih, kerasukan hantu apa
temanku ini.
Kuraih poster yang diletakkan Zul di
atas meja. Lomba menulis novel tingkat
nasional. Naskah terpilih akan langsung diterbitkan. Bulu kudukku berdiri.
Kudongakkan wajah memandang Zul yang masih berdiri di sisi tempat dudukku.
“Kau harus menang, Nay!” Mata itu
yakin sekali. Terlalu yakin padaku.
“Tapi..”
“Tidak ada tapi..”
“Naskahnya harus dikirim lewat
email, Zul. Aku tak punya laptop.”
“Usah kau risaukan hal sepele macam
itu, Nay. Ada aku!”
Seperti hujan yang tiba-tiba turun
membawa momentum berharga, aku tidak pernah ingin melewatkannya. Ini kesempatan
emas. Aku harus berjuang. Jika tidak ada laptop,
aku masih bisa menuliskannya di buku, lalu naskah itu akan kuketik ulang di
warnet Bang Sabili. Perkara sepele. Benar kata Zulfan.
“Oke. Aku ikut!”
“Nah, gitu dong dari tadi.” Zulfan
tersenyum.
“Aku tidak akan merepotkanmu.
Janji.”
“Ah, kau ini.”
Kutatap poster itu lekat, kata ..akan diterbitkan menjadi titik fokus
yang tidak tergoyahkan. Itu tujuanku. Jika aku bisa memenangkan lomba ini, aku
akan jad novelis sungguhan, menjadi penulis. Ah, indahnya!
Maka hari-hari berikutnya aku tidak
pernah jauh dari rutinitas menyenangkan itu. Menulis berlembar-lembar naskah di
buku tulis hingga lenganku pegal bukan main. Jari-jariku tidak jarang terasa
kram dan kakiku kesemutan. Tapi aku tetap suka. Sebenarnya ini bukan pengalaman
pertama, sebelumnya sudah bertumpuk buku tulis berisi tulisan-tulisan sederhana
yang kuletakkan di sudut kamar. Tapi entah bagaimana, buku tulis kali ini punya
getar yang memacu jantungku berdetak lebih cepat. Mungkin pengaruh kata ...akan diterbitkan yang ada di poster
lomba itu.
Awalnya cukup sulit menentukan latar
cerita yang ingin kutulis. Ini sayembara
tingkat nasional, tidak main-main. Ucapku pada diri sendiri. Jika di
Indonesia tercatat ada 21.886.622 penduduk berusia lima belas hingga sembian
belas tahun dan nol koma satu persennya mengikuti sayembara ini, artinya
pesaingku paling tidak berjumlah dua puluh satu ribu delapan ratus sekian
orang. Dan berapa banyak yang menulis naskahnya di atas buku tulis? Mungkin
hanya aku. Ah, tidak juga. Aku belum mempertimbangkan jumlah penduduk miskin
dari 21.886.662 itu. Miskin. Kata yang selalu disematkan pada Kampung Nelayan
yang hidupnya bergantung pada deburan air laut. kalau tangguh, itu kata lain
lagi.
Kubayangkan pesaingku itu adalah
anak orang gedongan. Saat masuk masa
liburan pasti ia berpelesir ke Eropa, aih
latar tempat yang ditulisnya bisa jadi Praha, kawasan Champs Elyses, katedral
bergaya gotik di Cologne, atau Edinburgh yang bak negeri Harry Potter.
Batinku. Semua tempat itu kulihat dari dalam bilik warnet Bang Sabili. Dan bagi
gadis dalam tempurung sepertiku, yang tidak pernah melangkah jauh kecuali ke
pusat kota Medan, latar tempat apa yang bisa menyaingi karya hebat mereka
nantinya. Tapi aku tiba-tiba terkesiap saat memandang ke arah jendela. Langit
biru, air laut yang tidak terlampau biru dan rumah-rumah kayu terbingkai dalam
satu pigura kehidupanku. Kepahitan yang kadang terasa manis. Ah, apa peduliku
pada Praha, kawasan Champs Elyses, katedral bergaya gotik di Cologne, atau
Edinburgh yang bak negeri Harry Potter. Kampung Nelayan Belawan ini akan jadi
latar sempurna bagi novelku.
“Nay, sudah hampir maghrib.
Mandilah.” Suara ibu memecah lamunan.
Bersusah payah kurilekskan
persendian yang masih terasa ngilu, lalu kutapakkan kaki ke lantai kayu dan
kuraih handuk. Novelku sudah jalan lima bab saat kutinggalkan ia ke kamar mandi
sore ini.
***
Perpustakaan Terapung Kampung
Nelayan pagi ini ramai kedatangan tamu; para relawan dari sebuah universitas
negeri. Penampilan mereka menarik dan terlihat punya banyak ilmu pengetahuan.
Anak-anak sudah duduk rapi menyambut kedatangan mereka, siap menyaksikan segala
hal ajaib yang akan dilakukan oleh kakak-kakak dari kota itu.
“Nay, bagaimana novelmu?” Seseorang
berbisik sambil menarik-narik ujung jilbabku.
Aku menoleh, siapa lagi kalau bukan
Zulfan. “Menuju bab terakhir.. akan
selesai tiga hari lagi.”
“Waktumu tinggal dua minggu, cepat
selesaikan.”
“Sudah kukatakan tiga hari lagi.”
“Oke.” Ucapnya sambil mengacungkan
jempol.
Aku kembali berusaha fokus
mendengarkan dongeng yang dibacakan seorang kakak di hadapan kami. Ada dua
boneka tangan yang lucu-lucu sebagai media penyampai yang menarik. Anak-anak
senang bukan main. Aku juga ikut menikmatinya, sedangkan Zulfan lebih suka cari
kesempatan berkenalan dengan beberapa orang pemuda berkacamata. Kutebak ia
pasti bertanya tentang kampus mereka.
Waktu seperti hembusan angin laut
yang menerbangkan aroma matahari. Ia berlalu begitu saja. Para relawan harus
bergegas pulang. Mereka berjanji akan sering berkunjung ke perpustakaan
terapung kampung kami. Hati kecilku bergumam, aku ingin bisa seperti mereka. Menjadi orang yang bermanfaat.
Malam harinya, semangatku
meletup-letup. Novelku akan selesai malam ini. Tidak butuh tiga hari lagi. Di
kamar sederhana dengan tirai jendela yang sederhana pula, aku menghabisi
lembaran buku tulis dengan goresan tinta yang tidak main-main. Lagipula besok
hari Minggu. Malam ini kuhabiskan dengan secangkir teh, roti kering dan
mimpi-mimpi yang menyesaki setiap sudut kamar tidurku.
***
“Kau serius, Nay? Kau bilang tiga
hari lagi?” Bola mata Zulfan seperti mau keluar dari sarangnya.
“Ya, malam minggu aku nyaris tidak
tidur.”
“Bukan main. Ckckck.” Kali ini ia berkacak pinggang. “Yasudah, besok sepulang
sekolah kau datang ke rumahku. Kita ketik ulang naskah di buku tulismu itu.”
“Terimakasih banyak, Zul.” Jujur
saat itu aku merasa terharu. Zulfan pasti melihat mataku yang berkaca-kaca.
“Judulnya Biru. Bagaimana menurutmu?” Tanyaku kemudian.
“Bagus.”
Kami terus melangkahkan kaki
menyusuri jalanan kampung yang terbuat dari papan. Sandal yang bergesekan
dengan permukaan jalan menghasilkan bunyi yang khas. Di beberapa titik
terdengar papan-papan mulai berdecit saat diinjak.
“Harusnya aku minta maaf karena
tidak bisa meminjamkan laptopku kepadamu beberapa minggu ini, Nay.” Zulfan
memandangku sesaat, “Ayahku memakainya.”
“Kau ini. Aku sudah banyak berhutang
budi padamu. Tak perlu bicara begitu. Ayahmu juga sudah seperti ayahku.”
Percakapan itu terhenti di depan
rumahku. Saat Ayah sedang memperbaiki jalanya yang rusak. Kami mendekat. Aku
selalu suka cara Zul memberi hormat pada Ayah. Mereka mengobrol beberapa saat
dan aku hanya diam mendengarkan.
***
Matahari Senin tersenyum dan laut
masih tenang. Perahu motor segera dilepas dari tambat. Seperti biasa aku
bersama anak-anak lainnya harus menyebrang dengan perahu untuk pergi ke
sekolah. Inilah transportasi utama kampung kami. Deru mesin yang memecah lautan
adalah irama pagi yang merdu, lalu butir-butir air berlompatan diterjang perahu
yang tidak terlampau gagah, tapi berwibawa.
Perahu sudah melaju cukup jauh.
Semua baik-baik saja sampai salah seorang penumpang berteriak bahwa air masuk
ke dalam perahu. Semua teman-teman ikut berteriak. Aku gemetaran. Wak Man
pemilik perahu terkejut dan seketika panik meminta kami bahu membahu membuang
air kembali ke laut. Perahu bocor. Air memancar deras, hitungan menit perahu
yang cukup besar ini hampir penuh terisi air. Kudekap erat tas ranselku. Di
dalam sana, ada naskah novel yang amat kucintai. Teman-temanku muai menangis.
Perahu oleng ke kanan, sementara air terus meninggi. Perahu kami akan
tenggelam.
Air yang sudah memenuhi hampir
seluruh perahu membuat seluruh tubuhku semakin gemetaran. Tanpa bisa kutahan,
aku menangis dan berteriak. Anak-anak lainnya pun ikut menangis. Tas ranselku
kian basah diterjang air laut, namun tidak kubiarkan lepas dari genggaman.
Perahu semakin miring dan tidak berdaya dihempas air yang masuk dengan debit
yang tidak sedikit. Wak Man memandang wajah kami satu demi satu. Hatinya ngilu.
Air matanya ikut jatuh.
“Ya Allah, ya Allah..” Teriakan itu
memekik-mekik. Timpal menimpal ke udara.
Kurasakan tubuhku dihempas lautan.
Aku berenang sekuat tenaga, meraih apa yang bisa membantuku tetap bernapas.
Sementara tangan kiriku masih mendekap ransel. Dan di depan kedua mataku,
perahu kesayangan kami lenyap ditelan air. Teman-temanku berjuang untuk tetap
hidup. Tubuhku melemah, jantungku berkejaran dan napasku terasa tinggal
satu-satu. Tiba-tiba gelap!
***
Frankfurt am Main, menjelang pukul tujuh pagi.
“Kau berjuang melawan
maut, Nay.”
Alya menatap kedua
mataku. Beberapa saat, tidak berkedip sama sekali.
“Lalu, lalu bagaimana
dengan naskahmu dan kau bisa tetap hidup. Dan.. lomba itu?” Kini tangannya
memegangi lenganku erat. Sorot matanya meminta penyelesaian dari cerita yang
sudah kumulai sejak tadi.
“Atas izin Allah aku
selamat, Al. Ada perahu yang datang membantu. Kami dievakuasi, setelah itu aku
harus dirawat cukup lama.” Kuraih tangan Alya yang sedang memegangi lengan
kananku. Mataku terasa hangat jika mengingat peristiwa itu.
“Allah
sungguh Maha Kuasa, Nay.” Alya tersenyum lembut. “Dan.. tentang novelmu?”
Tak
bisa kutahan senyumku untuk tidak terbit saat Alya sampai pada pertanyaan itu.
“Zulfan.
Ia yang membantuku.”
Alya
menekuk alis tanda meminta penjelasan.
“Saat
itu, naskahku hampir lenyap. Seluruhnya basah dan tulisannya rusak di beberapa
bagian. Zulfan berusaha keras menjemurnya hingga bisa terbaca kembali..”
“Dan
mengetik semuanya untukmu?” Kini Alya tertawa.
“Juga
mengirimnya ke panitia lomba.” Timpalku kemudian. “Aku nyaris tidak percaya
naskah novel Biru itu terpilih. Tiga bulan kemudian ia terbit dan terpajang di
toko buku terbesar di pusat kota. Semua itu seperti mimpi, Al”
“Dan,
tujuh tahun kemudian diterjemahkan ke dalam dua bahasa asing? Itu hebat
sekali!” Alya memelukku.
Frankfurt
menjadi semakin cerah. Di luar jendela, daun-daun berkejaran saat jatuh ke
bumi. Musim gugur di bulan Oktober. Betapa jingga semua itu; Impian,
perjuangan, dan kebaikan orang-orang
yang menyayangi kita. Keputusan untuk
tidak menyerah pada keadaan, jangan pernah mengabaikan hal itu, Nay. Ucapku
pada diri sendiri. Dan daun mapel pun tersenyum pagi ini. Pada pesonanya aku
takjub berkali-kali. Sedang pada Kebesaran Tuhan aku takluk dan meniada,
menjadi kecil tidak berarti. Segala Puji
bagiMu, wahai Tuhanku, seru sekalian alam.
“Sudah,
kita harus berangkat sekarang.” Ucapku seraya menyeka air mata. Kami bergegas. Frankfurt Book Fair tidak akan memaklumi
tamu yang datang terlambat hari ini.
Selesai