Selasa, 02 Februari 2016

Merajut makna lewat kata

Bersaudara kerenaNya


Sebuah pertalian yang didasarkan pada iman bisa dipastikan ia begitu erat. Sebuah hubungan yang mengikat dua, tiga empat, puluhan,  ratusan,  bahkan ribuan hati. Atas nama Rabbnya mereka saling mencinta.  Mengenal, memahami, saling tolong-menolong hingga mendahulukan  hajat saudara. Sungguh indah. Benarlah adanya, bahwa ikatan karena iman terasa lebih kental dari pada ikatan karena darah. Sebuah tali persaudaraan yang mengulur panjang hingga ke syurga. Yang para penikmatnya kelak akan dicemburui para Nabi juga para syuhada. Ikatan yang menurunkan hujan rahmat dari Rabb yang Maha penyayang : Ukhuwah Islamiyah.
Manis sekali ungkapan ini, Dalam dekapan ukhuwah, kita mengambil cinta dari langit. Lalu menebarkannya di bumi. Sungguh di surga, menara-menara cahaya menjulang untuk hati yang saling mencinta. Maka beruntunglah engkau yang merasakan bagaimana indahnya berukhuwah, bersaudara karena Allah semata. Di abad ini, saat banyak sekali manusia tertipu dengan fananya dunia, mereka yang menjadikan strata sosial, nilai materi sebagai pertimbangan untuk membina sebuah hubungan. Entah itu pertemanan, atau apa. Sungguh mereka bagai membangun rumah laba-laba. Bukankah teman, sahabat, saudara adalah tempat kita berbagi beban juga kebahagiaan, bersandar juga kawan dalam bersabar, mereka adalah rumah tempat berpulang. Banyak sekali manusia yang membangun rumahnya dari tali yang teramat rapuh, seperti laba-laba. Dengan sedikit saja gangguan rumah itu bisa porak-poranda, hancur tak berbekas. Kita harus sadar bahwa hanya ada satu hubungan pertemanan, persaudaraan yang kuat, kekal bahkan menghadiahkan naungan di hari perhitungan kelak : Ukhuwah Islamiyah.
Ukhuwah inilah yang memaut hati seorang Abu Bakar Ash Shiddiq pada saudara seperjuangannya, kekasih Rabbnya Rasulullah Muhammad SAW. Di tahun ke 14 nubuwah. Dalam perjalanan hijrah yang membutuhkan tadhiyah (pengorbanan) sepenuh jiwa. Di sebuah gua yang berada di selatan kota Mekah, terukir kisah persaudaraan yang abadi sepanjang sejarah.
Sampai di mulut gua, Abu Bakar berkata : ‘‘Demi Allah, janganlah engkau masuk ke dalamnya sebelum aku masuk terlebih dahulu. Jika di dalamnya ada sesuatu yang tidak beres, biarlah aku yang terkena, asal tidak mengenai engkau.‘‘ lalu Abu Bakar memasuki gua dengan menyisihkan kotoran yang menghalangi. Di sebelahnya dia mendapatkan lubang. Dia merobek mantelnya menjadi dua bagian dan mengikatnya ke lubang itu. Robekan satunya lagi dia balutkan ke kakinya. Setelah itu Abu Bakar berkata kepada beliau, ‘‘Masuklah!‘‘. Maka beliaupun masuk ke dalam gua. Setelah mengambil tempat di dalam gua, beliau merebahkan kepala di atas pangkuan Abu Bakar dan tertidur.
Tiba-tiba Abu Bakar disengat hewan dari lubang yang tadi. Namun ia tidak berani bergerak, karena takut akan mengganggu tidur Rasulullah. Dengan menahan rasa sakit, air mata menetes ke wajah Rasulullah.
‘‘Apa yang terjadi wahai Abu Bakar?‘‘ tanya beliau.
Abu Bakar menjawab, ‘’Demi ayah dan ibuku menjadi jaminan, aku digigit binatang.’’
Kemudian Rasulullahpun mengobati luka di kaki Abu Bakar.
Demi dzat yang Merajai jiwa manusia, apa yang membuat mereka begitu saling mengasihi dan mendahulukan satu sama lain? Ukhuwah yang telah mengakar kuat di dalam jiwa. Hati mereka terikat. Sebuah perasaan yang sulit untuk dijelaskan. Ia hanya akan menjadi benar-benar nyata ketika kita merasakannya. Dan ukhuwah Islamiyah, persaudaraan karena kesamaan akidah hanya akan dirasakan oleh mereka yang hidup hatinya. Nyala oleh cahaya keimanan.
Maka saudaraku, marilah kita melapangkan hati, membuka ruang dalam nurani. Kita turuti wasiat sang Nabi : Jadilah hamba-hamba Allah yang bersaudara. Bersaudara itu mengenal, memahami, menolong  juga mendahulukan. Ikhlas menyayangi, mendo’akan di sepertiga malam yang pekat sunyi. Lantunan rabithah juga tak kalah manis untuk dibisikkan di ujung sajadah. Bersaudara memang sungguh indah. Sekali lagi, mari kita melapangkan hati. Semoga kelak Allah ridhai kita untuk memantik cemburu di kalangan para Nabi juga para syuhada disana. Allah berikan kita naungan saat tak ada lagi naungan di hari itu kecuali naunganNya. Sebab kita memegang erat pertalian yang suci itu. Sebab kita berukhuwah islamiyah dan komitmen untuk menjaganya.

Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa itu berada dalam surga (taman-taman) dan (di dekat) mata air-mata air (yang mengalir).  (Dikatakan kepada mereka): “Masuklah ke dalamnya dengan sejahtera lagi aman ” . Dan Kami lenyapkan segala rasa dendam yang berada dalam hati mereka, sedang mereka merasa bersaudara duduk berhadap-hadapan di atas dipan-dipan.
(QS Al Hijr: 45-47)


Wallahu a`lam bisshawab.

Referensi : Sirah Nabawiyah, Syaikh Shafiyurrahman Al Mubarakhfurri.



0 komentar:

Posting Komentar

 
;