Kamis, 27 Desember 2012

Belang


                        Nampaknya matahari sedang hobi  melotot akhir-akhir ini. Tanah tempatku berdiri seperti sedang dipanggang diatas oven kue raksasa. Panasnya minta ampun! Aku meringsut masuk kebawah kolong meja demi mencari tempat teduh untuk bergolek. Walau cuaca panas seperti ini, hobiku dan sebagian besar bangsaku tak akan pernah berubah : bergolek sambil mengibaskan ekor. Bangsa kami memang terkenal sangat pemalas dan manja. Mungkin itu sebabnya mengapa banyak manusia yang sering sebal pada kami.
Hari ini sangat sial bagiku, aku diusir dari rumah. Padahal perkaranya sederhana, aku hanya ingin mencicipi ikan dencis goreng yang terhidang diatas meja. Tiba-tiba “Bugh!” dampratan dari Nyonya Lis tepat mendarat dipunggungku. Tak puas, Nyonya Lis menyiramku dengan air. Aku berlari kencang dengan ikan dencis goreng masih tergigit dalam mulutku. Aku sangat lapar. Sejak Aini, puteri sulung Nyonya Lis berkuliah ke pulau Jawa aku jarang diberi makan, karena memang dahulu Aini yang membawaku ke rumah dan menyayangiku selalu.
“Dasar kucing kurang ajar ! pergi kau sana !” Nyonya Lis marah bukan main, ia mengejarku dengan membawa sapu lidi. Hiii, aku merinding melihat sapu lidi itu dikibaskan kearahku.
Dan disinilah aku sekarang, menumpang teduh di warung Pak Tresno. Berharap ada sisa makanan yang dilemparkan kearahku .
Saat  ini jam makan siang, pengunjung setia  warung Pak Tresno adalah para kuli angkat balok yang bekerja di pabrik kayu milik orang Chinese. Saat cuaca rasanya ingin membunuh dengan sengat api seperti ini, para kuli sudah pasti akan meemesan es sebagai pendingin tenggorokan. Ah, apa yang bisa kuharapkan dari para kuli itu? Aku tidak suka minum es, sementara mereka tidak pernah memesan makanan kecuali gorengan. Jujur, aku tak bernafsu menyantap gumpalan tepung yang berbalut minyak.
Sejurus kupandang aspal hitam yang terbakar matahari. Tiba-tiba temanku yang berbulu belanh hitam putih muncul dari balik ilalang diseberang jalan sana. Ia mendekat kearahku.
“ Meong…”
Ia berbelok menuju bangku panjang yang diduduki para kuli, lalu tubuhnya menggeliat manja dikaki seorang kuli yang berwarna cokelat tua. Secuil bakwan dilemparkan kearahnya, ia mengendusnya lalu meninggalkannya.
“ Makanan apa yang mereka berikan? Tak ada aroma penggugah selera kucing ditempat ini” omel temanku.
“ Heh, apa kau tak lapar?”                                       
“ Aku sangat lapar” jawabku.
“ Ayo kita cari makanan” ajak temanku.
Aku menguap sejenak lalu mengikuti jejaknya dari belakang. Kami berjalan menuju Dusun Suka Sari.
" Kita akan mencuri ikan asin di kedai Wak Nur, kau ambil ikan asinnya lalu cepat lari yang kencang. Kalau sampai kita tertangkap, habislah kita“ jelas temannku.
Tak lama menapaki jalanan desa, kami sampai di kedai Wak Nur. Di depan pintu kami melihat seorang bapak tua berdiri menatap isi kedai. Badannya kurus, sepertinya kurang makan sama sepertiku. Wajah orang ini juga asing di mataku. Dia pasti bukan penduduk sini.
" Pak, bu sedekahnya. Saya belum makan “.
Oh, aku faham. Pasti dia pengemis. Lalu putera sulung Wak Nur menghampiri bapak yang sepertinya sudah berdiri di depan kedai mereka sejak tadi.
" Minta maaf ya pak  “ ucap putera sulung Wak Nur. Pengemis itu lalu pergi meninggalkan kedai.
Terkadang aku merasa sangat beruntung menjadi seekor kucing. Tak perlu mengemis untuk dapat mengisi perut. Jika tidak diberi makan oleh Nyonya Lis, tinggal mencuri saja dari tudung saji. Walau harus menghadapi teror sapu lidi yang membuatku merinding, apadaya perutku lapar sekali. Manusia ini pelitnya minta ampun ! nggak sama hewan, nggak sma manusia rasanya berat sekali untuk membagi makanan. Maka jangan marah jika aku nekat mencuri makanan. Ini semua demi perut, bung !
Kami mengendap-endap pelan memasuki kedai. Ikan asin tepat berada di atas meja sebelah kiri. Hap ! aku melompatke atas meja. Sedikit lagi aku mendapatkannya.
“ Kucing ! kucing !“
Aku tersentak, suami Wak Nur berlari kearahku dengan membawa sapu lidi. Jantungku berdetak kencang. Aku turun dari meja dan lari terbirit-birit bersama temanku.
“ Padahal sedikit lagi aku mendapatkannya“ ucapku jengkel.
Tak putus akal, kami mencari target lain. Kami berjalan menuju rumah tinggi yang terdapat di seberang jalan. Bangunan peninggalan kompeni itu nampak megah di mataku. Dindingnya kokoh, gaya arsitekturnya mirip menara Syahbandar  Batavia yang berdiri kokoh di atas benteng tua Culemborg. Tapi tujuan kami tentu bukan rumah itu. Rumah bercat putih yang ada di sisi nkirinyalah yang akan jadi target operasi kami selanjutnya. 
"Kita masuk lewat jendela samping, lalu langsung menuju meja makan"  temanku memberi intruksi.
Tanpa ragu kami berjalan menuju jendela samping, lalu aku melompat kemudian disusul temanku. Rumah ini besar, dimana ruang makannya ? kami mengendap pelan takut ketahuan. Itu dia tudung sajinya. Aroma ikan asin tajam terdeteksi oleh hidungku.
Aku siap melompat, ups ! ada orang. Apa dia pemilik rumah? Tapi sepertinya aku taka sing dengan wajah orang itu. Lho, diakan bapak pengemis yang tadi ! apa ini rumahnya? Ah, tak mungkin. Pria itu membuka tudung saji dan ingin mencomot makanan yang terhidang di sana. Lalu seorang ibu muncul dari ruang tamu. Wajah ibu itu pucat menatap bapak tua yang berdiri di dekat meja makan.
“ Maling, maling ! tolong… ada maling !!! “ teriak ibu itu keras sekali.
Pria yang diteriaki malimg itu cepat berlari menuju pintu. Ia kalang kabut.
`` Tolong… maling !!! `` ibu itu terus berteriak.
Tak lama warga datang dengan membawa pentungan siap menghajar si maling nasi. Mereka berlari mengejar pria yang kelaparan itu.
`` Ayo cepat ambil ikan asinnya`` sertu temanku.
Akupun bergegas menggigit ikan asin dari dalam tudung saji. Aku benar-benar merasa beruntung diciptakan sebagai seekor kucing. Tapi, wajah pria lapar itu terbayang dimataku. Ah, entah sudah jadi apa tubuhnya sekarang.
              

0 komentar:

Posting Komentar

 
;